BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai
sebuah gerakan, Nahdatul Ulama (NU) hadir seiring dengan kondisi bangsa
Indonesia yang masih terhegemoni oleh kekuasaan penjajahan asing (Belanda).
Pada masa itu pula, setiap gerakan rakyat yang muncul selalu berdedikasi kepada
keinginan untuk merubah keadaan bangsa dan meningkatkan kualitas warga bangsa
melalui peningkatan kualitas keagamaannya. Paling tidak terdapat dua gerakan
besar yang hadir pada masa itu dan berkembang pesat hingga kini sehingga dapat
dianggap sebagai gerakan Islam terbesar di Indonesia. Walaupun keduanya lahir
dalam suasana yang sama, tetapi dari sisi lain keduanya mempunyai wawasan yang
berbeda, sehingga dalam perkembangannya, perbedaan itu menjadi ciri-ciri yang
berkembang dengan sangat menyolok pada basis sosial masing-masing.
Sesuatu
yang menarik untuk dicermati gagasan mengenai finalitas bentuk negara Indonesia
justru dicetuskan oleh NU. Organisasi yang telah dikenal dengan identitas
tradisionalnya. Pengakuan terhadap negara RI sebagai sebuah bentuk final dan
sistem kenegaraan yang sah. Demikan pula perubahan NU dari organisasi yang
berwatak tradisional radikal menjadi organisasi sosial keagamaan yang
mempelopori penerimaan asas tunggal Pancasila menjadi catatan tersendiri dalam
sejarah hubungan NU dengan negara, hal ini karena pada dasawarsa 1970-an, NU
tampil sebagai unsur PPP yang paling keras mengkritik kebijaksanaan pemerintah.
Perjuangan NU di bidang politik kenegaraan juga tidak ketinggalan, ulama-ulama
NU banyak yang merasa terpanggil untuk aktif dalam pemerintahan. Sampai saat
ini peran NU tidak diragukan lagi dalam pergumulan modernitas politik
kenegaraan dan ini menjadi cerminan tentang mengkuatnya akar tradisionalisme
dalam percaturan besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Muktamar yang
ke-19 di Palembang tahun 1952 karena adanya picu peledak dari Masyumi, lahirlah
Partai Politik Nahdatul Ulama. Oleh karena itu di dalam makalah ini akan
dibahas tentang masa pertumbuhan NU sebagai partai politik, masa perjuangan NU
dalam bidang politik dan pemerintahan, masa pengolakan dan masa orde baru NU
sebagai partai politik.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
masa pertumbuhan Nahdatul Ulama sebagai partai politik ?
2. Bagaimana
masa perjuangan Nahdatul Ulama sebagai partai politik ?
3. Bagaimana
masa pergolakan Nahdatul Ulama sebagai partai politik ?
4. Bagaimana
masa orde baru Nahdatul Ulama sebagai partai politik ?
C. Tujuan Pembahasan
Dalam makalah ini, terdapat beberapa tujuan, di antaranya :
1.
Untuk mengetahui masa pertumbuhan Nahdatul Ulama sebagai partai
politik.
2.
Untuk mengetahui masa perjuangan Nahdatul Ulama sebagai partai
politik.
3.
Untuk mengetahui masa pergolakan Nahdatul Ulama sebagai partai
politik.
4.
Untuk mengetahui masa orde baru Nahdatul Ulama sebagai partai
politik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masa
Pertumbuhan ( 1952-1955 )
Beberapa waktu sebelum keluar dari
Masyumi, KH. A. Wahid Hasyim selaku Ketua Muda PBNU telah banyak melakukan
kegiatan prakondisi. Perkembangan politik dalam tubuh Masyumi senantiasa
disampaikan kepada para tokoh NU baik di daerah maupun di pusat. Maksudnya agar
mereka juga ikut menilai, memikirkan dan kemudian menentukan sikap. Puncak
pra-kondisi itu ditandai dengan berkumpulnya tokoh-tokoh NU se-Jawa dan Madura
di kediaman KH. Maksum Khalil, Jagalan-Jombang, awal April 1952. Berbagai persoalan
telah dibahas dan akhirnya diputuskan : “ Secara organisatoris NU memisahkan
diri dari Masyumi, dan mengusahakan kepada Masyumi agar segera mengadakan
re-organisasi untuk menjadikan dirinya sebagai badan federasi. Keputusan ini
kemudian dituangkan dalam keputusan PBNU yang terkenal dengan “Surat Keputusan
PBNU tanggal 5/6 April 1952”.[1]
Kemudian pada Muktamar ke-19 di
Palembang tanggal 28 April – 1 Mei 1952, keputusan PBNU tersebut disampaikan
dalam Muktamar. Ternyata 61 suara menyetujui, 9 suara menolak dan 7 suara
memisahkan diri dari Masyumi dengan syarat sebagai berikut :
1) Pelaksanaan
keputusan jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan ummat Islam
Indonesia,
2) Pelaksanaan
keputusan tersebut dilakukan melalui perundingan dengan Masyumi, dan
3) Keputusan
ini dijalankan dalam hubungan luas berkenaan dengan keinginan membentuk Dewan
Pimpinan Ummat Islam Indonesia yang nilainya lebih tinggi, di mana
partai-partai dan organisasi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Selain itu, Muktamar juga membentuk
panitia yang terdiri dari 7 cabang, 3 di antaranya cabang yang setuju kepada
keputusan PBNU, 3 dari cabang yang kontra (tidak setuju) dan 1 cabang yang
blanko. Panitia ini bersama dengan PBNU akan menentukan sikap : Apakah NU akan
memproklamasikan menjadi partai politik atau tidak. Dan panitia ini akan bersidang
menunggu hasil perundingan NU dengan Masyumi mengenai sikap tersebut.[2]
Ternyata, Masyumi tidak mau mendengarkan
niat baik NU. Dan lahirlah Partai Politik NU yang disponsori para Kiai.
Masih dalam Muktamar Palembang NU
memutuskan beberapa pokok pikirannya yang erat hubungannya dengan politik :
1) Mendesak
Pemerintahan RI agar segera mengadakan Pemilihan Umum,
2) Menyetujui
kehendak Pemerintahan RI untuk mengadakan penghematan dan membasmi pengeluaran
yang tidak jujur,
3) Mendesak
kepada Pemerintah agar menggiatkan pendidikan Pancasila secara teratur dan
bersungguh-sungguh, khususnya tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang
tampaknya kurang mendapat perhatian.[3]
Dengan
demikan, NU sudah membuka lembaran sejarah baru. Jika semula ia hanya
menitikberatkan orientasinya kepada soal-sola social dan keagamaan, maka
semenjak Muktamar Palembang NU menambah orientasi kepada masalah politik.
AD-ART pun sudah tidak bernama jami’iyah lagi, tetapi sudah diubah menjadi
AD-ART partai politik NU. Lapangan usahanya juga semakin membengkak kepada
persoalan pertahanan keamanan, politik luar negeri dan dalam negeri, perburuan
dan persoalan social-budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Tentu saja, tujuan
untuk menumbuhkan masyarakat Islamiyah, tidak terlupakan. Meski sudah berubah dan
tumbuh menjadi partai politik, pola organisasi NU masih tetap pola organisasi
Jami’iyah diniyah, yakni menempatkan ulama pada posisi sentral. Dan mengenai
keanggotaan pun masih dpertahankan, yakni harus orang Indonesia yang beragama
Islam dan berhaluan salah satu dari empat madzab.[4]
Dari uraian di atas, bisa dipahami
dan diketahui apa dan bagaimana sesungguhnya visi, misi dan haluan politik NU.
Tiada lain, NU ingin menegakkan dan membentuk masyarakat Islamiyah, menganut
paham perdamaian, menginginkan terciptanya Negara Hukum yang berkedaulatan
rakyat. Dan haluan perjuangan politik itu akan tercermin dalam perilaku politik
NU.
Pada masa pertumbuhan, partai
politik NU menghadapi berbagai kesulitan. Pertama, kekurangan tenaga terampil
di bidang politik. Kedua, kesulitan menghadapi lawan politik, dalam arti
pertentangan ideologis dengan PKI dan sekutunya. Di samping juga harus
“melawan” Masyumi dalam pola pemerintahan koalisi, karena pertentangan harga
diri.
Untuk kesulitan pertama, partai NU
segera mengadakan rekrutmen (penambahan anggota0 tenaga terampil di bidang
politik. Dan tentu saja tenaga terampil harus beragama Islam dan berhaluan dari
empat madzab atau menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah. Selain itu, tenaga
terampil ini harus juga memiliki ketaatan kepada para ulama, meski ketaatan itu
hanya bersifat formal. Seperti tampilnya H. Djamaluddun Malik yang
memprakasai, dan akhirnya NU menyetujui berdirinya Lembaga Seniman Budayawan
Muslimin Indonesia (LESBUMI), yang bertugas memelihara seni budaya muslim, dan
berperan mencegah berkembangnya seni budaya yang ditangani kelompok Komunis
atau PKI.[5]
Selain itu ada Idham Chalid, yang
dikenal sebagai orang yang strategi, kepala dingin, cermat dan teliti dalam
berpolitik, pandai bergaul dan bisa hidup disegala zaman dan aktif dalam
mengambil bagian di dalam partai NU, dan berhasil menduduki posisi ketua
MAa’arif NU pada tahun 1952. Karena potensinya dalam berpolitik sangat
menonjol, pada Muktamar ke-21 di Medan, Desember 1956, ia terpilih sebagai
Ketua Umum PBNU.[6]
Ciri khusus dalam usaha rekrutmen
ini adalah tanpa melihat latar belakang social maupun pendidikannya. Yang
penting, tenaga yang diambil mau taat dan patuh kepada kepemimpinan Syuriyah.
Setelah kesulitan pertama teratasi.
NU segera mengalihkan perhatiannya kepada persoalan konsolidasi dan
penyelamatan eksistensi partai, baik yang ada hubungannya dengan keanggotaan
Parlemen maupun keikutsertaannya di dalam Kabinet. Selain itu, NU berusaha
menggalang persatuan barisan Islam untuk berjuang bersama demi agama, Negara
dan bangsa. Namun, sikap hati-hati dan penuh pertimbangan masih tercermin dalam
segala tingkah laku politik NU di masa pertumbuhannya.
Dengan segala pertimbangan yang
mendalam, setelah NU resmi menjadi partai politik, para anggota NU yang duduk
di Parlemen RI segera mengadakan reaksi politik. Delapan anggota fraksi Masyumi
(dari NU) secara sukarela membentuk fraksi tersendiri, yakni fraksi NU. Mereka
itu adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Ilyas, Muhammad Saleh Suryaningprojo,
Muhammad Ali Prataningkusumo, A. A. Achsin, Idham Chalid, As. Bamid dan Zainul
Arifin (kemudian diganti oleh Saifudin Zuhri).[7]
Pada waktu ditingalkan oleh KH. A.
Wahib Hasbullah, karena beliau berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 19 April 1953,
NU tetap gigih mengadakan propaganda demi kemenangan pemilu 1955. Salah satu
contoh kegigihan NU dalam berkampanye adalah melawan PKI ketika partai komunis
hendak menggunakan gambar “palu arit”, dengan tambahan kalimat “PKI dan
orang-orang tak berpartai”. Idham Chalid dari NU yang bertugas sebagai juru
bicara memprotes rencana PKI itu dan berhasil menggagalkannya.[8]
Dan DN. Aidit, Ketua CC PKI, pernah
membujuk agar Idham mau menerima rencana tersebut. Tapi idham tidak menolaknya.
Kerja keras para pemimpin NU
tidaklah sia-sia. Hasil pemilu 1955 menunjukkan, NU berhasil keluar sebagai
empat besar setelah Masyumi dan PNI. NU berhasil mendapatkan sebanyak 6.955.141
suara. Sehingga jumlah kursi di Parlemen yang semasa bergabung dengan Masyumi
hanya 8 kursi, melonjak menjadi 45 kursi.[9]
Keberhasilan NU dalam pemilu ini tentu saja mengubah peta politik Indonesia .
di dalam Parlemen, partai-partai Islam telah menduduki 114 kursi dari 257 kursi
yang telah diperebutkan. Masyumi mendapat 57, NU 45, PSII 8 dan PERTI 4.[10]
Di dlam Kabinet, dari 25 Menteri
yang diperebutkan, 13 diantaranya berhasil diduduki partai-partai Islam.
Masyumi 5 orang Menteri, PSII 2 orang Menteri, PERTI seorang Menteri dan NU
menduduki 5 orang Menteri. Jabatan menteri yang diduduki oleh NU adalah Wakil
Perdana Menteri (KH. Idham Chalid), Menteri Dalam Negeri (Mr.Sunaryo), Menteri
Perekonomian (Mr. Burhanuddin Harahap), Menteri Sosial (KH. Fattah Yasin),dan
Menteri Agama (KH. M. Ilyas).[11]
B.
Masa
Perjuangan ( 1955-1959 )
Setelah
proklamasi kemerdekaan, hampir semua organisasi Islam sepakat menjadikan
Masyumi sebagai satu-satunya Partai Politik Islam. Organisasi-organisasi Islam
yang pertama kali memperkuat Partai Masyumi adalah : NU, Muhammadiyah,
Perserikatan Ulama Islam, Persatuan Umat Islam dan pada tahun berikutnya
ditambah oleh organisasi-organisasi lain, seperti : Al-Irsyad, Al-Jamiyyah
al-Wasliyah, dan Pesatuan Islam. Untuk menjadi anggota Masyumi dapat dilakukan
dengan dua jalur, yaitu keanggotaan pribadi dan keanggotaan organisasi. Cara keanggotaan
inilah yang tidak disetujui oleh Nahdlatul Ulama karena akan menyebabkan rapuhnya dukungan
terhadap Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam kelak di
kemudian hari.
Pada
tahun 1949 pimpinan partai Masyumi melakukan reorganisasi dengan mengubah
fungsi Majelis Syuro hanya sebagai penasehat. Menanggapi keputusan tersebut,
dalam mukhtamar XVIII NU di Jakarta pada 30 April-3 Mei 1950 diputuskan NU akan
keluar dari Masyumi sambil menunggu sementara waktu untuk memberikan kesempatan
partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi-koreksi yang disampaikan NU.
Akhirnya, pada muktamar XIX NU di Palembang pada 1 Mei 1952, secara resmi NU
menyatakan keluar dari partai Masyumi dan menjadikan dirinya sebagai partai
politik. Sejak itu NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlibat
langsung dalam persoalan-persoalan kekuasaan Negara. Meskipun demikian, NU
tidak melepaskan karakteristiknya sebagai organisasi keagamaan dengan tetap
mempertahankan struktur kepemimpinan formalnya yang disebut Syuriah dan
Tanfidziyah.
Sebagai
partai politik, sudah tentu NU dituntut untuk mengambil bagian dalam berbagai
aktivitas pemerintahan guna membangun bangsa dan Negara. Pada tahun 1953, NU
masuk dalam cabinet Ali Sastroamijaya dengan menempatkan kader-kadernya, yaitu:
KH. Zainul Arifin (Wakil Perdana Menteri), KH. Masykur (Menteri Agama),
Muhammad Hanafiyah (Menteri Agraria). Begitu juga pada masa cabinet Burhanuddin
Harahap, NU juga ikut didalamnya. Dua orang duduk dalam kementrian, yakni Mr.
Sunaryo (Menteri Dalam Negeri) dan KH. Mohammad Ilyas (Menteri Agama).
Pada
Pemilihan Umum tahun 1955, di luar dugaan NU menempati urutan ketiga dan
menjadi empat partai besar dengan memperoleh 45 kursi di parlemen (DPR RI).
Perolehan suara yang cukup besar itu tidak lepas dari pengaruh para kiai dan
pesantren. Umat Islam yang sebagian besar berada di desa memiliki jalinan
emosioanal yang amat erat dengan para kiai. Mereka sangat patuh kepada kiai,
sehingga ketika para kiai memberikan dukungannya kepada NU, mereka pun ikut mendukungnya.
Setelah
dalam pemilu 1955 berhasil keluar sebagai partai besar, pasca pemilu 1955 NU
menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perjuangan yang ulet dan
militant. Sebab kabinet yang disusun berdasarkan hasil pemilu yang dikenal
dengan Kabinet Ali Sastroamiidjojo II atau Kabinet Ali-Roem-Idham- kabinet koalisi
partai PNI-Masyumi-NU telah mendapat tantangan yang berat dari presiden
Soekarno. Presiden Soekarno secara terang-terangan menyatakan keinginannya agar
diikutsertakan dalam Kabinet. Alasannya karena PKI juga berhasil menjadi salah
satu dari empat partai besar. Tetapi baik PNI, NU, maupun Masyumi tidak
menginginkan keikutsertaan PKI dalam Kabinet. Pembelaan Soekarno kepada PKI,
secara politis menguntungkan PKI dalam pertumbuhan politik di Indonesia
selanjutnya, dan presiden Soekarno sudah melibatkan diri ke dalam kancah
politik dan langsung menyaingi Parlemen. Dengan konsep “Demokrasi Terpimpin”,
presiden Soekarno mengecam system “Demokrasi Liberal”, karena system banyak
partai yang tidak pernah membangun sebuah pemerintahan yang kuat, yang
dibutuhkan Indonesia guna membangun dirinya.
Ketika
demontrasi terpimpin dicanangkan. NU menerima dengan catatan agar tetap
menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan atas dasar musyawarah dan mufakat. Demikian
juga ketika presiden Sukarno akan menerapkan Nasakom (Nasional, Agama, dan
Komunis). Sikap politik NU ini didasari oleh sebuah prinsip bahwa “dar’u mafaasid muqaddamun ala jalbil
mashalih” ( menghindarkan kerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil
manfaat). Adapun madlarat lebih besar itu berupa :
1) Tempat
disediakan bagi NU dapat diduduki anasir lain yang membahayakan.
2) Kedudukan
partai NU sebagai oposisi yang belum disiapkan, akan bisa merupakan suatu
bencana yang tidak diharapkan.
Dengan prinsip ini NU mampu menempatkan
dirinya dalam keadaan apa dan bagaimana langkah yang harus dilakukannya. Setiap
tindakan harus diperhitungkan manfaat dan madlaratnya dengan mempertimbangkan
keselamatan agama, bangsa dan Negara.
Agaknya inilah masa yang paling kritis,
tetapi sekaligus menunjukkan puncak prestasi NU di percaturan politik
Indonesia. Di satu sisi NU berada dalam Nasakom, tetapi di pihak lain harus
mengembangkan perlawanannya terhadap komunisme.
Keadaan semakin bahaya setelah
dibubarkannya Kabinet Ali-Roem-Idham dalam bulan Maret 1957, praktis peranan
Parlemen dan partai-partai politik menjadi merosot. Pusat kekuasaan yang
biasanya berada di Parlemen beralih kepada Presiden Soekarno. Dengan segera
presiden mengumumkan gagasannya membentuk Dewan Nasional dan membubarkan
partai-partai, dengan menerapkan demokrasi terpimpin, memasukkan golongan
fungsionilke dalam Parlemen. Langkah pertama yang dilakukan Presiden Soekarno
adalah membentuk Kabinet baru. Untuk menghadapi situasi politik seperti itu, NU
masih sempat mencoba mengadakan Sidang
Pleno NU bersama konsul-konsul NU se-Indonesia pada tanggal 9-10 Maret 1957,
yang khusus membicarakan gagasan dari presiden Soekarno yang ingin membentuk
Dewan Nasional, pada intinya, akan menyetujui dengan syarat Dewan Nasional
hanya bersifat sebagai penasehat dan tidak mempunyai akibar politis, dan
pembentukannya diselesaikan oleh Kabinet bersama Kepala Negara.
Kemauan Presiden Soekarno segera
terwujud pada 9 April 1957. Kabinet ini bernama “Kabinet Karya” dengan Ir. Djuanda
sebagai Perdana Menteri, Mr. Hardi, Idham Chaliddan Leimena masing-masing
menjadi wakil Perdana Menteri I, II, III. Dari partai NU juga ditunjuk KH. M.
Ilyas sebagai Menteri Agama, Mr. Sunaryo sebagai Menteri Agraria, Prof. Drs.
Sunaryo sebagai Menteri Perdagangan.
C.
Masa
Pergolakan ( 1959-1968 )
Setelah
dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan Bersenjata
diletakkan di tangan Presiden.[12]
Kekuasaan semakin berpusat ke Istana Negara, ke tangan Presiden Soekarno,
fungsi departemen semakin berkurang, khususnya Departemen Hankam (Pertahanan
dan Keamanan). Otonomi Presiden Soekarno semakin mekar dan bahkan menjadi
ukuran kehidupan politik dimasa itu. Organisasi sosial poitik menjadi lumpuh tidak berdaya. Suhu politik
semakin memanas dan sia-sia demokrasi yang paling penghabisan pun lenyap
tertelan gelombang Demokrasi terpimpinya presiden Soekarno.[13]
Tindakan-tindakan
inkonstitusional semakin gencar dilakukan presiden. Antara lain, MPR hasil
pemilihan rakyat dibubarkan dan diganti MPRS yang diatur oleh Penetapan Prsiden
(Penpres) No.2 tahun 1959 tanggal 22 Juli 1959. Anggota MPRS diangkat dan
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pimpinan pemerintah dan Angkatan
Bersenjata diletakkan di tengah presiden. Bahkan demi kesatuan komando - sesuai
dengan prinsip Demokrasi Terpimpin pimpinan rakyat perlu diserahkan secara
formal pula kepada Presiden. Pimpinan rakyat itu pun diwujudkan dengan
membentuk organisasi massa yang dipimpin lagsung oleh Presiden. Dengan
demikian, kekuasaan semakin berpusat ke Istana Ngara, keangan Presiden
Soekarno, fungsi diberhentikan oleh presiden sendiri.
Selanjutnya,
pidato kenegaraan 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”,
oleh DPAS ditetapkan sebagai Garis-Garis
besar Haluan Negara (GBHN). Dan untuk memberangus system banyak partai,
dikeluarkan Penpres No. 7 tahun 1959 tentang penyederhanaan kepartaian. Masyumi
dan PSI terkena Penpres ini. DPR hasil pilihan rakyat dibubarkan dan diganti
DPR-GR yang diatur melalui Penpres No. 4 tahun 1960, ketika di Bandung
dilangsungkan Kongres Pemuda Indonesia, pidato presiden di depan Kongres yang
terkenal dengan istilah USDEK, oleh DPAS dianggap sebagai bagaian tidak
terpisahkan dari MANIPOL. Maka jadilah MANIPOL-USDEK.[14]
Ide
Presiden Soekarno paling penting adalah mempersatukan bangsa Indonesia ke dalam
NASKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme). Ide ini terlihat jelas pada amanat
Presiden 17 Agustus 1960, yang kemudian terkenal dengan rumusan “ Jalannya
Revolusi Kita” (JAREK).[15]
Istilah
atau rumusan inilah yang kemudian popular dengan sebutan NASKOM JIWAKU. Naskom
inipun diwujudkan di seluruh lembaga Negara baik DPAS, DPR GR, Front Nasional
dan lain sebagainya.[16]
Perwira-perwira
militer, khususnya Angatan Darat ( AD), yang memegang pimpinan ABRI memang
terkenal anti-Komunis (PKI). Sikap itu dibentuk oleh sebuah pengalaman pahit
menghadapi pemberontakan merebut kekuasaan yang dilakukan oleh partai Komunis,
September 1948, yang terkenal dengan “ PERISTIWA MADIUN”.
PKI
membutuhkan presiden untuk melindungi kegiatan politiknya. Sedangkan militer
memerlukan presiden, , yakni sebagai kekuatan fungsional.
Di
pihak lain, Presiden antara lain, untuk kepentingan mendapat legitimasi
partisipasi aktif mereka dalam sistem politik Soekarno juga membutuhkan militer
untuk menyokong konsep politiknya: Demokrasi Terpimpin. Sebab Soekarno tidak
mempunyai basis massa. Sedangkan kebutuhan Presiden akan PKI, adalah untuk
mengimbangi peranan ABRI dalam sistem politik.[17]
Usaha
prresiden menghalangi integrasi ABRI berpusat pada hankam, yang merupakan langkah
awal PKI mengacaukan tubuh ABRI, adalah ketika terjadi pencpotan jabatan KSAD
dan Jenderal AH. Nasution pada Juni 1962. Jabatan itu kemudian dipercayakan
kepada Jenderal A. Yani yang juga merangkap sebagai kepala Staf Komando
Tertinggi di Istana.[18]
Semenjak
dr. Subandrio menjabat Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) di tahun 1962,
ditambah pula ketika PM Djuanda meninggal dunia di tahun 1963 dan kedudukannya
sebagai PM digantikan oleh dr. Subandrio , maka dengan leluasa PKI melancarkan
berbagai fitnah. Para intelejensi PKI senantiasa membuat laporan palsu.[19]
Pada
pokoknya tindakan PKI dalam rangka merealisasikan cita-citanya dapat
disimpulkan : (1) Di dalam negeri berusaha keras memecah belah dan menysup ke
dalam kekuatan lawan; (2) Di luar Negeri berusaha mengubah politik luar negeri
yang bebas aktif menjadi condong ke kiri, ke blok komunis.[20]
Usaha
mengacaukan situasi ini di\lakukan PKI secara leluasa di segsla bidang
kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologi maupun militer.
Di
atas merupakan sketsa kasar situasi politik sesudah Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Pada masa itu seluruh kekuatan politik dibuat tdak berdaya. Yang berperan
hanyalah PKI dan ABRI serta presiden Soekarno sebagai pemegang kunci
keseimbangan antara kedua kekuatan yang saling berhadapan itu.
Ketika
partai NU mengadakan Muktamar ke-22 pada 14-18 Desember 1959 di Jakarta, Idham
Chalid di depan Muktamar perlu menjelaskan bahwa keadaan Negara (kala itu)
memerlukan kebijaksanaan dan cara yang banyak berbeda dari keadaan normal
sebelumnya.[21]
Beberapa
hal yang perlu dicatat selama NU menduduki kementerian agama antara lain : (1)
Tentang penyelenggaraan ibadah haji; (2) Pendirian Masjid Istiqlal yang kini
merupakan symbol kemegahan Islam di Idonesia, adalah atas hasil usaha menteri
Agama KH. A. Wahid Hasyim di zaman Bung Karno, yang pelaksanaannya dilakukan
oleh Menteri Agama KH. Ilyas, yang juga dari NU; (3) Pendirian Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) adalah hasil u-saha Menteri Agama KH. Wahib Wahab; (4)
Penerjemahan serta p-encetakan Al-Qur’an oleh departemen agama; (5) Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) yang sampai saat ini masih terus bergema, hasil usaha Menteri
Aama KH. M.Dachlan.[22]
Pertimbangan
politis itu terbukti ketika PKI meningkatkan serangannya ke segala bidang
kehidupan yang, antara lain, pada awal tahun 60-an organisasi mahasiswa Komunis
CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) berhasil mendominasi 0rganisasi
PPMI (Perserikatan Perhimpunan Indonesia).
Tiga
orang duduk dalam DPAS mewakili NU, masing-masing adalah KH.Wahab Hasbullah,
KH.Idham Chalid dan KH.Saifuddin Zuhri. Tiga wakil NU tersebut selalu
mengimbangi konsep PKI, dan secara tidak langsung menghalau pikiran-pikiran PKI
yang mengancam keselamatan pancasila. NU mengemukakan konsepnya bahwasosialisme
Indonesia bukanlah sosialisme ala Moskow atau ala Peking.
NU
mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk “ Natonal Planning Board” sebagai
badan perencanaan menuju ekonomi nasional yang sehat, yang dipimpin langsung
oleh Dr.Mohammad Hatta. Yang akhirnya kita kenal sekarang dengan istilah
“Repelita” dan “Pelita”.
Yang
dilakukan NU untuk mendekati presiden Soekarno agar tidak senantiasa didekati
PKI adalah terlihat jelas pada sikap Rais Aam NU, KH.Wahab Hasbullah.Begitu
dekatnya Kiai Wahab degan presiden Soekarno sampai terjadi pemberian atau
tambahan nama “Muhammad” di depan nama Soekarno, sehingga menjadi Muhammad
Soekarno.
Hubungan
baik antara Kiai Wahab dan Presiden, ternyata memudahkan diterimanya
saran-saran NU yang disampaikan Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya ketika DPAS
sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat dengan pihak
Belanda, yang terkenal dengan istilah “ Diplomasi Cancut Tali Wondo”.
Digambarkan
leh Idham Cholid, semenjak Dekrit presiden sampai dengan pengesahan kembali
para NU pada 14 April 1961, tokoh-tokoh NU sedang mengalami keprihatinan yang
mendalam. Pikiran mreka dipenuhi pertanyaan : Apakah NU masih boleh hidup atau
tidak? Mereka takut tergilas Penpres No. 7 tahun 1959 dan Penpres No. 13 tahun
1960.
Pada
tanggal 15 April 1961, Presiden Soekarno menetapkan keputusannya untuk mengakui
8 partai politik yang berhak hidup, satu diantaranya adalah NU menepati posisi
paling besar dilihat dari jumlah anggotanya. Barisan NU terdiri dari Pertanu,
Lesbumi, Sarbumsi, Fatayat, Muslimat. IPNU-IPPNU, PMII dan khususnya Pemuda
Ansor dan Bansernya, yang telah siap siaga menghadapi kemungkinan yang paling
buruk dari akibat yang ditimbilkan oleh aksi sepihak PKI.
Pada
tanggal 6-14 Maret 1965 dilangsungkan KIAA (Konperensi Islam Asia-Afrika) di
Bandung. KIAA memilih “Lajnah Tandzimiyah” terdiri dari KH.Idham Chalid
(presiden dari Idonesia; NU), Dr.Muhammad Huballah (Wapres Mesir), Al Haj
Ya’cup (Wapres Nigeria), Syech Abdul Aziz (Wapres Arab Saudi), Prof.Hamid Ahmad
Khan (Wapres Pakistan), sekretaris Jenderal ditunjukkan HA. Sjaichu
(Indonesia;NU). Dan Faladun Dasumamba (Wakil Sekjen; Philipina0. Ditambah lagi
dengan 2 orang anggota masing-masing dari Iraq dan Thailand. Pada Juli dan
Agustus 1965, CGMI dan PR (Pemuda Rakyat) mengadakan latihan rahadia di Lubang
Buaya. Ketua IV PBNU, HM.Subchan ZE, yang sejak lama telah menggalang persatuandi kalangan HMI, PMII,
Pemuda Ansor, Muhammadiyah, dll.
Karena
suasana yang belum stabil, maka, penyempurnaan cabinet masih terus dilakukan.
Pada tahun 1966 dibentuklah Kabinet Ampera dengan pimpinan Jenderal Soeharto.
Dalam cabinet inipun Idham Chalid tetap sebagai Menko Kesra, Sifudin Zuhri
sebagai Menteri Agama. Tetapi keikutsertaan NU dalam Kabinet Ampera dan Kabinet
brikutnya, tidak sebesar ketika kabinet-kabinet sebelumnya. Kemudian di lembaga
legislatif,baik MPRS maupun DPR, NU memegang peranan cukup penting. HM.Subchan
ZE terpilih sebagai Wakil Ketua MPRS (1966-1971), KH.A.Sjaichu sebagai Ketua
DPR-GR (1966-1971). Sedangkan dalam barisan massa pemuda, tokoh-tokoh NU
berperan sebagai motor penggerak untuk menghantam habis PKI dan seluruh
ormasnya. Pembubaran PKI, hanya berupa larangan mengadakan kegiatan secara de
facto. Sementara itu, keadaan ekonomi semakin buruk. Terutama setelah
dikeluarkannya peraturan penggantian mata uang dari Rp.1.000,00 menjadi Rp.1,00
pada tanggal 13 Desember 1965. Harga barang-barang kebutuhan pokok bukannya turun,
tapi justru melonjak ke langit.
Pada
periode 1960-1965 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme dalam
bentuknya yang berwajah banyak. Hampir di semua sector kehidupan di mana PKI
dapat mengembangkan dirinya, NU tampil dengan membentuk beberapa organisasi,
seperti : Banser (Barisan Ansor Serbaguna)
untuk melawan Pemuda Rakyat, Lesbumi (Lembaga
Seni Budaya Muslim) untuk menandingi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Pertanu (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama) untuk membendung usaha PKI melalui
BTI (Barisan Tani Indonesia) di
kalangan petani dan nelayan di pedesaan, dan Sarbusumi (Sarikat Buruh Muslim Indonesia) untuk menandingi aksi-aksi
perburuan SOBSI.
Sikap
anti komunis yang dilakukan NU mencapai puncaknya pada saat terjadi Gerakan 30
September 1965. Ketika Dewan Revolusi mengumumkan aksinya pada hari 1 Oktober
1965, siang harinya NU segera mengutuk gerakan yang dikomandani Kolonel Untung
dan menuding PKI dan ormas-ormasnya berada dibelakang aksi tersebut. Pada 5
Oktober 1965 NU tampil menjadi kekuatan politik yang pertama menuntut
pembubaran PKI. Hari-hari sesuadah itu NU dan ormasnya secara aktif melakukan
usaha-usaha pembersihan terhadap kekuatan Gerakan 30 September (Gestapu).
Sejak
Januari hingga pertengahan Maret 1966, gerakan anti-pemerintah - khususnya
anti-Soekarno, tidak henti-hentinya dikobarkan. Para demonstrasi akhirnya
merumuskan tuntutannya yang kemudian populer dengan istilah “TRITURA” atau Tri
Tuntutan Rakyat, yakni: (1) Bubarkan PKI, (2) Rombak Kabinet Dwikora, dan (3)
Turunkan Harga.
Perkembangan
politik berikutnya, perlu mengadakan perombakan struktur politik secara
radikal. Perombakan mana dimaksudkan untuk lebih memperkokoh cita-cita Orde
Baru. Untuk menancapkan kaki Orde Baru agar semakin kokoh, maka pada bulan
Maret 1968, MPRS mengadakan siding kelima dan mengukuhkan Jenderal Soeharto
menjadi presiden penuh. Dan setelah itu dibentuklah Kabinet Pembentukan I yang
dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto.
Sebagai
sebuah partai yang banyak andil dalam usaha menciptakan Orde Baru, ternyata NU
mengakhiri kharirnya dalam eksekutif dengan tidak mendapatkan bagian apa-apa
dalam kabinet. Tetapi, sekedar menghibur hati, beberapa tokoh NU menanggapi
kenyataan itu sebagai sesuatu yang tidak perlu. NU berjuang bukan untuk
kedudukan, melainkan demi kepentingan Negara, bangsa dan agama. Dan perjuangan
itu dilakukan dengan penuh ikhlas “lillahi ta’ala”. Tetapi kemunduran peranan
NU ternyata kurang mampu menghadapi kenyataan yang timbul sesudahnya. Seperti
dikemukakan Chalid Mawardi, dalam hal front massa, NU telah memberikan andil
besar. Tetapi NU telah lengah di segi lain. Yaitu dalam hal front politik.
D.
Masa
Orde Baru ( 1968-1973)
Pengakuan Jenderal Soeharto sebagai
Presiden oleh MPRS dalam bulan Maret 1968, menurut Alfian, dapat dipergunakan sebagai
ukuran bahwa kaki Orde Baru sudah tertanam kuat. Tetapi Jenderal Soeharto
masihdihapkan pada persoalan penting tentang format politik macam apa yang
harusditumbuhkan dan dikembangkan untuk membangu Indonesia kembali.
Di zaman “Demokrasi Liberal”, stabilitas
politik tidak pernah terwujud. Penyebabnya, antara lain, karena sistem banyak
partai tidak pernah berhasil membentuk
kabinet atau eksekutif yang kuat. Sedangkan di zamann “Demokrasi
Terpimpin” kekuasaan Presiden Soekarno
sebagai kepala eksekutif sangat besar. Tetapi kekuasaan itu, ternyata, tidak
dapat dipergunakan secara efektif dan baik. Sebab Presiden Soekarno tidak
pernah berhasil melaksanakan ide penyederhanaan sistem kepartaian secara
berarti, dan yang lebih penting, karena Soekarno tidak memiliki basis masa yang
mampu menyangga kedudukannya.[23]
Semenjak itu, tingkah laku poltik Jenderal
Soeharto menjurus kepada usaha-usaha menghilangkan kelemahan yang pernah
terjadi di zaman Presiden Soekarno. Sehingga, pada masa itu pula, dibentuk
kabinet atau eksekutif yang kuat, bersama dengan pengukuhan posisi militer dan
Golongan Karya (GOLKAR) sebagai basis utama kekuatannya. Sejalan dengan itu,
proses penyederhanaan partai berjalan secara sistematis. Dan inilah format baru
yang ditumbuhkan di masa Orde Baru.
AH.Nasution mengemukakan, skala prioritas
perjuangan Orde Baru adalah: (1)Membangun kembali ekonomi yang sudah parah
akibat kesalahan pemerintah Orde Lama, terutama sandang pangan; (2) pengorbanan
disegala bidang secara konsekuen, termasuk pembersih, penertiban mental Orde
Lama.[24]
Atas
prakarsa Subhan ZE (Ketua IV PBNU), dibentuklah Kesatuan Aksi Pengganyangan
Gestapu (KAP GESTAPU) yang kemudian menjadi Front Pancasila. Gerakan ini
bertujuan menyelesaikan krisis politik yang terjadi di Indonesia dan mencapai
puncaknya ketika fraksi NU dalam DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong)
mengajukan resolusi yang meminta dilaksanakan sidang Umum MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara). Resolusi ini kemudian menjadi usul resolusi
DPRGR yang meminta kepada MPRS melakukan sidang istimewa pada Maret 1967.
Krisis politikpun berakhir setelah diangkatnya Suharto menjadi pejabat Presiden
RI. Peristiwa ini mengawali babak baru pemerintahan Indonesia yang kemudian
dikenal dengan sebutan “Orde Baru”.
Pada
tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru NU memegang peranan cukup besar. Akan
tetapi dalam perkembangannya, NU mengalami anti klimaks dari seluruh prestasi
politiknya. Sampai menjelang pemilu 1971, NU masih memiliki wakilnya di
kabinet, tetapi ketika jabatan Menteri Agama beralih ke tangan Prof. Dr. A.
Mukti Ali berakhirlah sejarah keikut sertaan NU dalam kabinet pemerintahan Orde
Baru. Keterlibatan NU dibidang politik sesudah itu hanya pada sekitar parlemen
(legislative), sehingga secara nasional peranannya semakin menyempit.
Pengalaman
traumatic sebagai akibat pelaksanaan demokrasi parlementer dan demokrasi
terpimpin, mendatangkan badai kritik terhadap tatanan politik yang ada.
Perombakan struktur politik menjadi suatu keniscayaan, sehingga dilakukan penyedrhanaan
partai dan perubahan orientasi dalam pembangunan politik di Indonesia. Pada 5
Januari 1973 di deklarasikan berdirinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
merupakan fusi dari empat 94) partai Islam peserta pemilu 1971, yakni : NU,
Parmusi, PSII dan Perti. Dari partai ini diharapkan muncul kesatuan langkah
umat Islam dalam membawakan aspirasi politiknya.
Semula
peranan NU dalam PPP cukup besar karena hampir seluruh personalia pusatnya
dijabat oleh tokoh-tokoh NU seperti : KH. Bisri Syamsuri (Rais Am Majelis
Syura), KH. Masykur (Ketua Majelis Pertimbangan Partai), dan KH. Idham Khalid
(Presiden Partai). Akan tetapi sejak kepemimpinan J. Naro peranan NU semakin
berkurang karena dominasi unsure-unsur di luar NU, terutama MI (Muslim
Indonesia), yang menduduki jabatan-jabatan strategis dalam kepemimpinan partai.
Kondisi ini mempengaruhi timbulnya
gagasan-gagasan yang mengambil tema “kembali kepada jiwa 1926”. Gagasan ini
pertama kali muncul secara terbuka pada Muktamar XXV NU (20-25 Desember 1971)
di Surabaya. Usaha mengembalikan keberadaan NU sebgai organisasi keagamaan
(jamiyyah diniyah) semakin menunjukkan hasilnya pada Muktamar XXVI NU (5-11
Juli 1979) di Semarang. Akhirnya pada Muktamar XXVII NU (8-12 Desember 1984) di
Situbondo, NU secara resmi melepaskan diri dari kegiatan politik praktis dan
membebaskan warganya untuk memilih dan menyalurkan aspirasi politiknya kepada
partai-partai politik peserta pemilihan umum. Sejak itu NU menapaki lembaran
baru sejarahnya dengan kembali kepada jati dirinya sebagai organisasi social
keagamaan (jamiyyah diniyah ijtimaiyah) yang lebih popular dengan kembali
kepada “khitthah NU 1926”
BAB
III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
ì Keaktifam NU dalam mengambil bagian
penciptaan stabilitas politik semakin mantap, dan kerja keras NU tidaklah
sia-sia. Dalam masa pertumbuhannya, partai politik NU menghadapi berbagai
kesulitan, yang akhirnya membawa keberhasilan dalam pencapaian hasil pemilu
yang mengubah peta politik Indonesia yang mampu mengangkat prestise ummat Islam
dalam percaturan politik di Parlement maupun di Kabinet.
ì Masa perjuangan NU Sebagai
partai politik, sudah tentu NU dituntut untuk mengambil bagian dalam berbagai
aktivitas pemerintahan guna membangun bangsa dan Negara. Sikap dan perjuangan
NU dalam menghadapi situasi sebagaimana pun, akan tetap menyesuaikan diri dalam
batas-batas yang masih mungkin untuk dilakukan tanpa melupakan prinsip dan
objektivitas. Karena mengakui kenyataannya keterbatasan pada dirinya sebagai
kekuatan politik.
ì Pada
masa pergolakan, NU mulai terjepit posisinya setelah peristiwa pergolakan
Gestapu PKI. Sebagai satu-satunya partai politik yang mempunyai andil besar
dalam penumpasan PKI dan terciptannya orde baru, kedudukannya di dalam kabinet
maupun front politik semakin terdesak, sikap-sikap politiknya semakin lemah,
karena isu-isu yang sempat menggetarkan sejumlah pemimpin NU, selain factor
internal juga disebabkan karena faktor eksternal.
ì Pada
masa orde baru, perkembangan politik di bawah Jenderal Soeharto yang menumbuhkan
dan mengembangkan pembentukan eksekutif yang kuat yang didukung oleh basis
massa riil, serta penyederhanaan system kepartaian dan menjauhi atau menolak
radikalisme.
B. Saran
ì Sebaiknya diperlukannya suatu kesadaran
untuk mengental di kalangan umat Islam. Karena setiap pergerakan yang hadir
tidak pernah terlepas dari gejolak situasi sosial yang melingkupinya. Seperti
halnya NU, hadir sebagai sebuah pergerakan dengan berbagai kapasitasnya. Dalam
konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, setidaknya sejak negeri ini
berdiri, Sebab disadari bahwa agama pada dasarnya mempunyai peran strategis
dalam mengembangkan etika sosial, ekonomi dan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan,
Haji Abdul Basit . 1980 . Kemelut di NU
Antara Kyai dan Politisi . Sala : CV. Mayasari
Alfian
. 1983 . Pemikiran dan Perubahan Politik
Indonesia . Jakarta : Gramedia
Chalid,
Idham . 1966 . MENDAYUNG DAN TAUFAN .Jakarta
: Endang dan api Islam
Kansil,
C.S.T. 1974 . INTI PENGETAHUAN UMUM . Jakarta : Pradaya Paramita
Kartodirjo,
Sartono. 1975 . SEJARAH NASIONAL
INDONESIA, IV . Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Mahfoedz,
Maksoem . 1982 . Kebangkitan Ulama dan
Bangkitnya Ulama. Surabaya : Yayasan Kesejahteraan Ummat
Nasution,
AH. 1976 . KEMABALI KE UUD 1945 . Jakarta
: naskah tidak diterbitkan
PB.
Nahdlatul Ulama . 1960 . PERATURAN DASAR
DAN PERATURAN RUMAH TANGGA PARTAI NU
RI,
Departemen Penerangan . 1961 . ALMANAK
LEMBAGA NEGARA DAN KEPARTAIAN . Jakarta : Percetakan Negara
RI.
Panitia Pembina Jiwa Revolusi . 1965 . Tujuh
Bahan Pokok Indoktrinasi . Jakarta : Grafica
Suripto
.t.th. BUNG KARNO HARI-HARI TERAKHIRNYA Surabaya : PT. Grip
Thahir,
H. Anas et. al (ed) . 1980 . Kebangkitan
Ummat Islam dan Peranan NU di Indonesia . Surabaya : PT. Bina Ilmu
Thoha,
HM. As’ad . dkk. 2006 . Pendidikan Aswaja
dan ke-NU-AN untuk Madrasah Aliyah SMA/SMK Kelas II . Surabaya : Pimpinan
Wilayah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jawa Timur
Zuhri,
Saifuddin.1981 . KALAIDOSKOP POLITIK III
. Jakarta : Gunung Agung
[1] Maksoem Mahfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama,
(Surabaya, Yayasan Kesejahteraan Ummat, 1982), hal. 90-91
[2] Haji Abdul Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi,
(Sala, CV. M ayasari, 1980), hal.18-19
[3] Ibid, hal 93
[4] PB. Nahdlatul Ulama, PERATURAN DASAR DAN PERATURAN RUMAH TANGGA
PARTAI NU, 1960
[5] Maksoem Mahfoedz, op. cit. hal
159-161
[6] Dr. KH. Idham Khalid, MENDAYUNG DAN TAUFAN , (Jakarta, Endang
dan api Islam. 1966), hal. 134-135.
[7] Saifuddin Zuhri. KALAIDOSKOP POLITIK III, (Jakarta,
Gunung Agung, 1981), hal. 642
[8] Saifuddin Zuhri, op.cit. hal 645
[9] C.S.T. Kansil, INTI PENGETAHUAN UMUM (Jakarta, Pradaya
Paramita, 1974), hal. 73
[10] Saifuddin Zuhri, op.cit, hal.
642-643
[11] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta, Gramedia,
1983), hal. 34-35
[12] Departemen Penerangan RI, ALMANAK LEMBAGA NEGARA DAN KEPARTAIAN,
(Jakarta, Percetakan Negara 1961) hal. 351
[13] AH. Nasution, KEMABALI KE UUD 1945, (Jakarta, 17
Agustus 1976, naskah tidak diterbitkan), hal. 23-24
[14] Departemen Penerangan RI,
op.cit. Idham Chalid. Op.cit
[15] RI. Panitia Pembina Jiwa
Revolusi, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi,
(Jakarta, Grafica, 1965), hal. 216
[16] Idham Chalid. Op.cit. hal. 44
[17] Alfian, op.cit, hal. 40-42
[18] AH. Nasution, op.cit, hal.
25-27, dan Alfian, op.cit, hal. 43-44
[19] Suripto, BUNG KARNO HARI-HARI TERAKHIRNYA, (Surabaya, PT. Grip(t.th)), hal
11-12 dan AH. Nasution, op.cit, hal. 27
[20] Sartono Kartodirjo, SEJARAH NASIONAL INDONESIA, IV (Jakarta
: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hal. 107
[21] Idham Chalid, op.cit. hal. 81
[22] H. Anas Thahir, et. al (ed), Kebangkitan Ummat Islam dan Peranan NU di
Indonesia, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1980), hal. 135
[23] Alfian, op.cit, hal. 47-48
[24] AH. Nasution, Sejarah Kembali ke
UUD 1945, Op.cit, hal. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar