BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah merupakan suatu rujukan yang sangat penting saat kita akan
membangun masa depan. Sekaitan dengan itu kita bisa tahu apa dan bagaimana
perkembangan islam pada masa lampau. Namun, kadang kita sebagai umat islam
malas untuk melihat sejarah. Sehingga kita cenderung berjalan tanpa tujuan dan
mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa lalu. Disnilah sejarah
berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah terjadi sebuah kisah yang
patut kita pelajari untuk merancang serta merencanakan matang-matang untuk masa
depan yang lebih cemerlang tanpa tergoyahkan dengan kekuatan apa pun.
Sejarah dalam pandangan Islam tidak hanya berbicara masalah data dan
fakta, akan tetapi sejarah merupakan dialektika nilai, pertarungan nilai.
Karena sejarah membawa identitas sebuah entitas masyarakat akan masa lalunya.
Kemajuan sebuah peradaban salah satunya bertumpu kepada sejarah. Dengan
sejarahlah peradaban memiliki jati dirinya yang hakiki. Masyarakat yang
melupakan sejarah akan mudah terjangkiti rasa inferior, mudah terombang-ambing
dalam sebuah arus yang tidak jelas atau dengan kata lain krisis identitas.
Padahal masa depan adalah fungsi dari masa lampau dan masa kini. Oleh karena
itu di dalam makalah ini akan dibahas tentang argumentasi distorsi atas konsep
sejarah Islam masa kini, rekontruksi dan paradigma peradaban islam masa depan, planning
operasional dan strategis peradaban Islam, signifikansi kebangkitan
fundamentalis Islam dan liberalisme Islam, dan identifikasi dan sikap positif
atas signifikasi dan konstribusi lembaga pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
ditorsi konsep sejarah dan peradaban Islam ?
2. Bagaimana
rekontruksi dan paradigma peradaban islam masa depan ?
3. Bagaimana
planning operasional dan strategis peradaban Islam ?
4. Bagaimana
signifikansi kebangkitan fundamentalis Islam dan liberalisme Islam ?
5. Bagaimana
signifikasi dan konstribusi lembaga pendidikan ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui ditorsi konsep sejarah dan peradaban Islam.
2. Untuk
mengetahui rekontruksi dan paradigma peradaban islam masa depan.
3. Untuk
mengetahui planning operasional dan strategis peradaban Islam.
4. Untuk
mengetahui signifikansi kebangkitan fundamentalis Islam dan liberalisme Islam.
5. Untuk
mengetahui signifikasi dan konstribusi lembaga pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ditorsi
Konsep Sejarah dan Peradaban Islam
Al Imam Baqir Al Shadr dalam
Al-Madrasah Qur’aniyyah yang disadur Prof M. Quraish Shihab Menulis “ Manusia adalah para pelaku yang menciptakan
sejarah. Gerak sejarah adalah gerak menuju suatu tujuan. Tujuan tersebut berada
dihadapan manusia, berada di masa depan. Sedangkan masa depan yang bertujuan
harus tergambar dalam benak manusia. Dengan demikian, benak manusia
merupakan langkah pertama dari gerak sejarah atau dengan kata lain terjadinya
perubahan”.[1]
Gagasan mengenai hukum perubahan Al
Shadr diatas memberikan fondasi dasar bagi ummat muslim saat ini, tentang
bagaimana seharusnya memulai sebuah gerakan pembangunan peradaban bangsa. Jika
menyimak gagasan Al Shadr diatas, maka membangun peradaban haruslah dilandasi
oleh suatu gambaran tentang masa depan (konsepsi)
yang hendak kita bangun bersama, karena Konsepsi menurut Al-Shadr adalah
sebagai langkah pertama terjadinya gerak sejarah atau terjadinya perubahan,
dengan kata lain konsepsi ini berfungsi sebagai Stimulus bagi terjadinya gerak
perubahan peradaban.
Namun yang disesalkan, kita
sepertinya masih gagal dalam tataran perumusan konsepsi. Syariat Islam yang
dalam hal ini menjadi dasar konsep Perubahan peradaban, diwujudkan dengan
semangat mengeluarkan aturan-aturan hukum untuk menghukumi sebanyak-banyaknya
para pelanggar moral (dalam arti sempit), yakni bagaimana mengorganisir
masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka tunduk dan patuh terhadap aturan
tentang busana, etika pergaulan dengan lawan jenis dan lain sebagainya.
Dari hal tersebut, dipahami bahwa
konsep awal perubahan peradaban yang diusung para pemimpin saat ini
adalah dengan “menertibkan” terlebih dahulu para pelanggar moral (dalam
arti sempit). Karena aturan-aturan moral ini menjadi prioritas pertama, berarti
secara tidak langsung kita beranggapan bahwa para pelanggar moral ini sebagai
faktor terdepan yang menghambat kemajuan peradaban. Pemahaman yang
demikian ini lahir dari kesimpulan yang parsial, terhadap konsepsi Syariat
Islam sebagai stimulant perubahan peradaban yang hendak diterapkan.
Dalam konteks hukum sendiri,
pendapat ini seolah diterima sebagai suatu gagasan hukum yang begitu cemerlang,
karena berasal dari sesuatu yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat, atau dalam
hukum dikenal dengan istilah “the
living law”. Gagasan the living law ini jelas di pengaruhi oleh aliran
filsafat hukum Sociological Jurisprudence yang belakangan ini cukup populer
dikalangan terotikus Hukum di Indonesia. Bahkan dalam lampiran UU No 10
tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan Republik Indonesia,
secara gamblang mengamanatkan, agar dalam konsideran suatu undang-undang atau
Peraturan Daerah mencantumkan latar belakang filosofis, yuridis dan sosiologis
yang menjadi dasar dibentuknya peraturan tersebut.
Ini semua menandakan ada hal yang keliru,
menyangkut konsep dasar yang menjadi acuan lahirnya aturan-aturan tersebut.
Keterputusan kesinambungan antara konsep dan realitas inilah yang menjadi
dasar pikiran awal penulis, untuk mengasumsikan bahwa telah terjadinya distorsi
konsep perubahan peradaban saat ini. Distorsi-distorsi tersebut antara lain,
ì Pertama, Distorsi terhadap ajaran hukum Sociological Jurisprudence. Ajaran hukum
Sociological Jurisprudence ini sendiri adalah suatu aliran filsafat hukum yang
berpandangan tentang pentingnya Living
Law yang hidup dalam masyarakat, dan kelahirannya merupakan sinthese dari
thesenya Positivisme hukum (yang mengutamakan akal dalam proses perumusan
hukum), dan sekaligus sebagai antithesenya dari Mazhab sejarah yang
mengutamakan pengalaman atau nilai yang semata-mata tumbuh dalam masyarakat.
Sehingga dengan kata lain, Sociological Jurisprudence merupakan penggabungan
antara rasio dan nilai yang tumbuh dalam masyarakat (pengalaman) dalam proses
perumusan hukum.[2]
Ajaran hukum yang merupakan
penggabungan antara rasio dan nilai nilai yang tumbuh dalam masyarakat, memang
merupakan suatu gagasan yang dinilai cukup ideal, mengingat hukum juga harus
memperhatikan realitas perkembangan yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi
jika dilihat lebih jauh tentang konsep penegakan hukum kita saat ini
sepertinya memang terlihat telah terjadi distorsi dalam penerapan konsep
sociological Jurisprudence, sebab dalam pandangan saya memperhatikan
nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat bukan berarti pemerintah harus
mengadopsi dengan segera seluruh kehendak masyarakat agar diterbitkannya suatu
aturan hukum seperti yang diinginkan masyarakat dalam suatu wilayah hukum
tertentu, sebab ajaran sociological jurisprudence tidaklah bertolak dari apa
yang diinginkan oleh masyarakat semata, melainkan pemerintah harus terlebih
dahulu melakukan penilaian rasional dan pertimbangan lebih lanjut tentang baik
buruknya masa depan norma tersebut bagi perkembangan peradaban masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, ada satu
contoh menarik yang diberikan oleh L.G. Saraswati Dkk, yang menyebutkan, jika
dalam suatu wilayah tertentu dimana kondisi sosiologis masyarakatnya memiliki
tingkat sensitivitas gender yang sangat rendah, seperti misalnya
perempuan sangat dibatasi untuk dapat terlibat dalam berbagai urusan wilayah
publik, maka apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu tata nilai yang
baik karena berasal dari tradisi sekelompok masyarakat? Karenanya menurut
penulis, hukum sebagai instrument perubahan masyarakat, dalam kondisi tertentu
juga harus menemukan nilainya sendiri yang dianggap baik bagi perkembangan
peradaban masyarakat, sekalipun nilai tersebut tidak dikenal dalam
komunitas masyarakat tersebut.
Terkait dengan kondisi sosial saat
ini, maka mendahulukan konsep penegakan moral (dalam arti sempit) bukanlah
pilihan yang tepat jika dilihat dari strategi perubahan peradaban. Sebab,
penegakan moral dalam arti sempit ini tidak secara langsung berimplikasi pada
meningkatnya kualitas peradaban suatu bangsa. Supremasi moral kita saat
ini jikapun diandaikan berhasil, dalam arti apabila semua orang tunduk dan
patuh untuk (misalnya) mengenakan model dan tata cara berpakaian tertentu, ini
berarti konsep pembangunan peradaban kita baru pada taraf pendidikan
etika dan sopan santun!.
Masalahnya, apakah konsep perubahan
peradaban melalui pendidikan etika dan sopan santun dapat katakan sebagai suatu
strategi yang tepat, jika dilihat dari konteks persaingan global saat ini yang
mensyaratkan pada daya saing pendidikan, perekonomian daerah yang mapan, dan penguasaan
teknologi yang mumpuni, sehingga tanpa itu mustahil suatu daerah akan maju.
Gambaran ini secara terang menunjukkan bahwa membangun suatu peradaban bangsa,
sama sekali tidak cukup jika hanya bermodalkan pendidikan etika dan sopan
santun semata, melainkan banyak aspek aspek lain yang secara nyata dapat
menjadi jawaban dari persaingan global kita saat ini.
Memang sangat dibutuhkan kehati
hatian kita dalam memahami hal ini, sebab jangan sampai ide ini dianggap
sebagai awal dari upaya penghancuran moral oleh konsep peradaban modern. Hal
ini tentu saja tidak benar, karena pandangan diatas tidak berakhir pada
kesimpulan negasi moral dalam kehidupan peradaban modern, namun justru
berkonotasi bahwa dalam kondisi saat ini, kebijakan yang berorientasi pada kemajuan
pendidikan, daya saing bidang perekonomian (bukan ekonomi liberal)
dan teknologi modern harus mendapatkan perhatian yang lebih serius
dibanding kebijakan lainnya.
ì Kedua, keyakinan masyarakat kita
bahwa syariat Islam adalah sebagai instrument yang ampuh untuk mewujudkan
konsep perubahan peradaban, juga telah terjadi distorsi. Semangat untuk
mewujudkan kembali kejayaan islam dimasa lampau selalu dipandang dari sektor
hukum dan bentuk Negara (sistem politik) yang berkembang ketika itu. Padahal,
ada aspek lain yang lebih esensial dari itu semua, yakni kemajuan peradaban
islam dibidang ilmu pengetahuan. Tanpa kemajuan ilmu pengetahuan, saya tidak
yakin peradaban islam akan berkembang dan bahkan jauh lebih maju dibanding
bangsa eropa yang justru pada masa itu sedang berada dalam masa kegelapan
(dark age).
Kata peradaban seringkali diartikan
melalui analisis kata dasarnya “adab” yang identik dengan keadaan seseorang
yang memiliki seni berprilaku menurut cara-cara tertentu, sehingga dengan
berprilaku demikian seseorang disebut memiliki sifat adab tersebut (sopan
santun dan berbudi luhur), jadi tidak mengherankan jika konsep peradaban kita
selalu merujuk pada soal bagaimana cara berprilaku yang baik dan benar.
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang
mendorong tumbuhnya situasi yang kondusif bagi pendidikan justru terpinggirkan,
jikapun ada hanya sebatas regulasi-regulasi teknis kependidikan, bukan
terobosan-terobosan baru yang bersifat konseptual-strategik.
Kemajuan bidang ilmu pengetahuan
islam dimasa lalu sangat ditentukan oleh komitmen pemimpinnya untuk mendorong
gairah pendidikan pada masa itu. Cendikiawan muslim Indonesia Harun
Nasution misalnya mencontohkan, seperti pada masa khalifah Al-makmun yang
berjasa mendirikan Bait Al-Hikmah sebagai pusat kajian filsafat yunani dan
selanjutnya memberikan pengaruh cukup besar bagi perkembangan filsafat islam.[3]
Tentu sulit bagi kita untuk membayangkan seandainya ada ulama ketika itu yang
menentang dan berhasil menghambat pembangunan Bait Al Hikmah, serta menuduh Khalifah
Al-Makmun telah melakukan Taghrib karena khawatir akan “tercemarnya” para
intelektual islam dengan pemikiran filsafat barat (yunani), barangkali dunia
hari ini tidak pernah mengenal dengan sebutan “Filsafat Islam”, ilmu Mantiq
(logika), dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang lahir dari pemikir-pemikir
besar Islam ketika itu.
Pada dasarnya kita Ummat muslim
memilki cerita sejarah yang cukup menggembirakan tentang perkembangan
peradaban, tinggal bagaimana saat ini menyusun kekuatan untuk mewujudkan kejayaan
itu kembali,
Menyadari hal itu semua, pada
akhirnya dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesuai dengan penjelasan kita
tentang pentingnya Konsepsi Bagi
Kemajuan Peradaban Bangsa, maka hukum seharusnya mengadopsi konsep
yang terbaik bagi kemajuan peradaban masyarakat, bukan justru harus
selalu terpaku pada apa yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat, dan
berlindung dibalik sakralitas ajaran hukum sociological jurisprudence. Berdasarkan
deskripsi kritis kita tentang konsep perubahan peradaban saat ini, maka dalam
sistem perencanaan hukum kedepan, yang harus diutamakan adalah perlunya
regulasi-regulasi hukum yang dapat menjadi stimulus peradaban dalam arti yang
luas, yakni bagaimana aturan hukum dapat mewujudkan kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan, karena yang demikian merupakan syarat mutlak yang diperlukan oleh
bangsa kita saat ini jika hendak mengukir kembali kejayaan islam di bumi
tanah rencong ini.
B.
Rekontruksi
dan Paradigma Peradaban Islam Masa Depan
ì
Konstruksi Oposisi dan Kelompok Penekan
Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau oposisi
dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul sebagai
respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh kelompok
berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik ekstrakekuasaan
(aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi
politik yang secara laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik
terbatas pada kelompok Status-Quo.
Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang
monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik
ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan
banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang
menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah
bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas
As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama
dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.Pertama, gerakan
Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah
jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan
dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap
Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang
dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pascapembantaian Karbala yang
melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at
Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.Kekuatan
oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari
orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan
Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai
pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal
Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya
Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus.
Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan bagi
terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.Namun, ternyata rekonsolidasi
kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut.
Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat
melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan
dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli
dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.Fenomena berbeda
justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah.
Mereka memanfaatkan disparitas dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok
mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah,
kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang
penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun
mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung
oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan
oposisi yang mengancam kekuasaan.
Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter
keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah
menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya
pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas
gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini
bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan
pada tahun 750 M.Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena.
Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan
efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur
Khalifah yang memimpin Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok
penekan menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi,
pemerintahan yang kuat dan dibantu kekuatan militer yang berada di bawah
kekuasaan pemerintah dapat memperlemah kekuatan oposisi.
Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh
besar.Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di atas
dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka memiliki legitimasi
politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin Zubeir mendapat
legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas As-Saffah
mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah.
Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena
pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.
ì Konstruksi
Politik Luar Negeri
Dari awal era Khulafaur-Rasyidin, konstruksi politik luar negeri
didasarkan atas upaya untuk dakwah dan menyebarkan Islam secara ekspansif
dengan kekuatan yang dimiliki. Begitu pula dengan orientasi dan dasar politik
luar negeri Bani Umayyah. Spirit dakwah dan penyebaran Islam melalui jalur
kekuasaan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan dalam politik luar negeri Bani
Umayyah.Secara geopolitik, posisi Arab pada era Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Was Salam terletak di antara dua buah kekaisaran yang saling memperebutkan
pengaruh: Persia dan Romawi. Pergumulan kedua kekaisaran ini diabadikan oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum. Dengan posisi ini, Arab
sebenarnya sangat rawan terhadap penetrasi atau aneksasi dari kedua kekaisaran
yang begitu kuat.Namun, kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang kuat
berhasil menaklukkan Persia. Khalifah Umar juga mengirim pasukan ke Mesir dan
Palestina serta mendesak kedudukan Romawi di dua tempat tersebut. Bargaining
position umat Islam mulai muncul dan berlangsung sampai era awal Bani
Umayyah.Khalifah Muawiyah melanjutkan penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali
ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di
Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke
Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan
berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga,
secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di
Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari
politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah
tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut, hubungan antara umat
Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin intensif dan
hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah
bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah
peradaban.Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik
internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang
melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya menjadi milik bangsa
Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain. Terjadi
universalisasi peradaban Islam yang sejalan dengan konsep Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin[4].
Bertambah luasnya territorial umat Islam ini juga berdampak pada struktur
birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah
baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru
tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi
wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa
jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.Selain
itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi
bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok
Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di
masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin
hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi.
Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang
tidak ingin kekuasaannya terancam.
C.
Planning
Operasional dan Strategis Peradaban Islam
Karena tujuannya untuk mem-Barat-kan
umat Islam, maka ia hanya memilih elemen-elemen dan nilai-nilai Islam yang
sesuai dengan Barat saja untuk dikembangkan. Ini tentu untuk memuluskan
jalannya modernisasi, westernisasi dan Amerikanisasi. Bahkan lebih praktis lagi
Bernard menyarankan agar Barat memberikan “bantuan” bagi pengembangan
nilai-nilai Barat tersebut kedalam pemikiran ummat Islam. Bantuan itu kini
telah mengucur ke berbagai LSM-LSM di Indonesia.
Tidak hanya menyeret nilai-nilai
Islam kedalam nilai-nilai Barat, Cheryl Bernard juga membuat kategori
kelompok-kelompok umat Islam dengan bahasa kultural Barat. Kelompok Islam dalam
laporan itu dibagi menjadi Muslimsekularis, Tradisionalis, fundamentalis
dan modernis (dalam kelompok terakhir ini termasuk Muslim liberal).
Muslim modernis misalnya, dinisbahkan kepada Muslim yang bekerja untuk Barat
dan yang mendukung masyarakat demokratis modern. Sementara itu Muslim
fundamentalis radikal (the radical fundamentalists) adalah mereka yang anti
demokrasi Barat, nilai-nilai Barat secara umum, dan Amerika Serikat khususnya;
pokoknya tujuan dan visi kelompok ini tidak sesuai dengan Barat. Jadi standar
klasifikasi ini adalah Barat, dan bukan berdasarkan realitas umat Islam. Memang,
inilah strategi pemikiran.
Dari pemikiran dan gambaran tentang
umat Islam yang salah itu Cheryl mengusulkan saran-saran strategi pemikiran.
Saran-saran strategis itu dibagi menjadi dua A. Dasar-dasar strategis dan B.
akifitas khusus untuk mendukung strategis tersebut.
ì Saran-saran strategis yang diberikan
Cheryl adalah
:
- Ciptakan tokoh atau pemimpin panutan yang membawa nilai-nilai modernitas
- Dukung terciptanya masyarakat sipil (civil society) didunia Islam.
- Kembangkan gagasan Islam warna-warni, seperti Islam Jerman, Islam Amerika, Islam Inggeris dst.
- Serang terus menerus kalompok fundamentalis dengan cara pembusukan person-personnya melalui media masa.
- Promosikan nilai-nilai demokrasi Barat modern
- Tantang kelompok tradisionalis dan fundamentalis dalam soal kemakmuran, keadilan sosial, kesehatan, ketertiban masyarakat dsb.
- Fokuskan ini semua kepada dunia pendidikan dan generasi muda Muslim.
Untuk memperkuat dan mempercepat
pembangunan masyarakat sipil Islam yang demokratis dan modern Cheryl Bernard
mengusulkan strategi sebagai berikut:
1) Dukunglah kelompok modernis, perluas
visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Kemudian
angkat mereka secara publik sehingga menjadi figure Muslim kontemporer.
2) Dukunglah kelompok sekularis kasus per
kasus.
3) Kembangkan lembaga-lembaga dan program-program
sekuler dibidang sosial dan cultural
4) Dukung kelompok tradisionalis
secukupnya sekedar dapat berlawanan dengan fundamentalis dan dapat menghindari
persatuan kedua kelompok ini.
5) Musuhi kelompok fundamentalis secara
energik dengan menyerang kelemahan mereka dalam pemahaman dan ideologi
keislaman mereka, seperti membuktikan korupsi, kebrutalan, kebodohan, bias
mereka dan kesalahan mereka dalam mengamalkan Islam serta ketidak mampuan
mereka dalam memimpin dan memerintah.
Untuk mendukung mendukung
langkah-langkah strategis tersebut Cheryl juga memberikan saran-saran taktis sebagai
berikut:
- Pertama-tama dukung kelompok cendekiawan modernis (liberal). Dorong mereka menulis untuk publik dan anak muda. Terbitkan dan sebarkan kerja-kerja mereka dengan bantuan biaya. Masukkan ide-ide mereka ini kedalam kurikulum pendidikan Islam. Usahakan agar pandangan mereka tentang masalah-masalah mendasar dalam penafsiran agama dapat dibaca oleh masyarakat dan agar berkompetisi dengan kelompok fundamentalis dan tradisionalis.
- Dukung kelompok tradisionalis dalam menghadapi fundamentalis. Publikasikan kritik-kritik kelompok tradisionalis terhadap tindak kekerasan dan ektrimisme kelompok fundamentalis. Pupuk terus perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis, dan jangan sampai mereka bersatu. Upayakan agar pemikiran tradisionalis mendekati modernis. Kalau perlu didiklah kelompok tradisionalis agar dapat melawan fundamentalis. Fundamentalis biasanya lebih superior dalam retorika, tapi tradisionalis masih agak tertinggal. Tingkatkan jumlah kelompok modernis (liberal) dalam institusi tradisionalis.
- Hadapi dan lawan fundamentalis. Tantanglah penafsiran mereka tentang Islam dan tunjukkan ketidakakuratannya. Bongkar jaringan mereka dengan kelompok-kelompok illegal. Publikasikan segala konsekuensi dari tindak kekerasan mereka. Tunjukkan juga ketidak mampuan mereka untuk memimpin, untuk mencapai perkembangan positif bagi Negara dan masyarakatnya. Kemudian sebarkan hal ini kepada generasi muda, kepada masyarakat tradisionalis yang taat, minoritas Muslim di Barat dan kepada para wanita. Hindarkan rasa respek atau pemujaan terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok fundamentalis, ekstrimis dan teroris. Juluki mereka sebagai pahlawan jahat, penakut dan tidak waras. Doronglah para wartawan untuk menginvestigasi korupsi, kemunafikan dan tindak amoral dalam kelompok fundamentalis dan teroris. Pecah belahlah kelompok fundamentalis.
- Dukunglah kelompok sekularis dengan secara hati-hati. Dorong kelompok ini agar mengakui fundamentalisme sebagai musuh bersama. Hindarkan agar kelompok sekularis ini tidak beraliansi dengan kekuatan anti AS yang didorong oleh nasionalisme atau ideologi kiri. Dukunglah ide bahwa dalam Islam agama dan Negara dapat dipisahkan dan ini tidak membahayakan keimanan tapi malah memperkuat keimanan. Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan bagi ummat Islam. Upayakan agar dikalangan ummat Islam tumbuh kesadaran dan ketertarikan kepada sejarah dan kultur pra-Islam dan non-Islam. Bantulah kelompok ini dalam mengembangkan organisasi sipil yang independent agar mereka dapat mengembangkan diri melalui proses politik. (hal.48)
Lebih lanjut Cheryl Bernard memberi
masukan tentang langkah praktis yang perlu dilakukan untuk mendukung strategi
dan taktik diatas. Kegiatan-kegiatan yang ia usulkan adalah sebagai berikut:
- Rebut atau rusaklah “monopoli” kelompok fundamentalis dan tradisionalis dalam menjelaskan dan menafsirkan Islam.
- Cari kelompok modernis / liberal yang dapat membuat website yang menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan kemudian menawarkan pendapat Muslim modernis tentang hukum-hukumnya.
- Doronglah cendekiawan Modernis / liberal untuk menulis buku teks dan mengembangkan kurikulum dan berilah bantuan finansial.
- Gunakan media regional yang populer, seperti radio, untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran Muslim modernis / liberal agar membuat dunia internasional melek tentang apa arti Islam dan dapat berarti apa Islam itu.
D.
Signifikansi
Kebangkitan Fundamentalis Islam dan Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri
hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah
al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Secara inheren,
gerakan kebangkitan itu sendiri sebetulnya adalah gerakan liberal, khususnya
jika liberalisme diartikan sebagai gerakan pembebasan pemikiran. Tokoh nahdhah
“konservatif” semacam Muhammad ibn Abd al-Wahab pun, sesungguhnya turut
memberikan kontribusi bagi gerakan liberalisme Islam di kawasan Arab. Khususnya
ketika dia mengkampanyekan pembebasan diri dari unsur-unsur takhyul, mitologis,
dan khurafat, serta menawarkan Islam yang bersih dan “rasional.”
Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaru Muslim di
kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa
pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain.
Karenanya, misi para pembaru Muslim pada –meminjam istilah Albert Hourani—
masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman
penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara
beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar
negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek
pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan
menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh
awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah
Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at
Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di
Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi
Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan
bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respon dari masyarakat
Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama
ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaru Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini
bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shâlih li
kulli zamân wa makân). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern,
termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan—dalam beberapa hal—nilai-nilai
Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas,
maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi
menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin
Islam Liberal.
Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal itu juga yang kerap
membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat dan penguasa (yang
didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang
tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna
perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokoh-tokoh
Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
E.
Signifikasi
dan Konstribusi Lembaga Pendidikan
Sampai detik ini masih sangat dipercaya bahwa gerakan Islam di Indonesia
dipelopori oleh jajaran ulama legendaris, yakni Wali Songo. Dengan propaganda
dan dakwah yang sangat baik mereka berhasil menyebarkan Islam ke antero
Nusantara. Meski pada nyatanya, mereka bukanlah satu kelompok utuh yang
terkomando, paling tidak, gerakan mereka dalam setiap periodenya memiliki satu
corak yang sama, yaitu menekankan hibridisasi antara nilai-nilai keislaman
dengan budaya dan kearifan lokal.Sebagai contoh, salah satu tokoh Wali Songo
–Sunan Kalijaga- memanfaatkan wayang kulit untuk upaya publikasi dan edukasi
nilai-nilai keislaman, ada juga yang memakai alat musik untuk merayu orang
masuk ke masjid, bahkan ada yang berpartisipasi dalam sabung ayam demi mendapat
nilai-nilai ketokohan dalam masyarakat, sehingga lebih mudah untuk memengaruhi
orang lain. Pola-pola seperti ini sebetulnya bukanlah hal yang aneh jika
melihat fakta begitu beragamnya corak keislaman di berbagai penjuru dunia.
Mungkin karena factor kemajemukan sub-kultur Nusantaralah yang membuat proses
ini terlihat begitu mencolok. Sebetulnya sejak zaman Nabi pun proses seperti
sudah terjadi dengan sendirinya. Sikap kerendahhatian Nabi sangat penting untuk
diterapkan. Beliau tidak mengatakan bahwa ajarannya adalah bangunan baru yang
lebih indah atau lebih baik, Nabi seolah hendak menampik anggapan bahwa Islam
adalah agama totaliter yang hendak memberangus semua agama dan budaya yang
mendahuluinya. Hadis ini seperti semacam garansi tanpa kadaluarsa bagi
eksistensi budaya-budaya yang eksis sebelum kehadiran Islam, termasuk yang ada
di Nusantara.Namun, sangat disayangkan jika konsep Islam yang ditawarkan oleh
Wali Songo bahkan Nabi Muhammad sendiri sebagai tonggak Islam tersebut
seolah-olah dilabrak dengan gagasan purifikasi atau dalih pemurnian agama yang
jelas saja mengancam eksistensi warisan tradisi dan budaya lokal. Penyeragaman
secara total mulai kembali dibangun melalui berislam dengan gaya Arabisasi,
mulai dari berbusana, berbahasa, bahkan secara struktural besar seperti negara
dan undang-undang –Khilafah Islamiyah- yang didengungkan oleh beberapa kelompok
Islam revivalis.
Secara umum upaya purifikasi kehidupan keagamaan sangat kental dengan
pengidentikkan simbol-simbol keislaman sebagaimana berlaku di tanah Arab. Hal
ini bukan saja hendak menafikkan unsur-unsur lokalitas dalam nilai keagamaan,
tapi juga meloloskan nilai historis dan kontekstualisasi Islam. Dengan pola
semacam ini, tak heran banyak orang menganggap bahwa kelompok-kelompok
revivalis memiliki agenda tersembunyi untuk mengubah wajah negara dan
masyarakat setempat secara radikal, sesuai dengan corak keislaman yang mereka
anut. Hal ini justru sering diafirmasi dengan kampanye syariat Islam, sistem
kekhalifahan, serta hal-hal semacamnya, yang sering mereka dengungkan.
Pandangan semacam ini seringkali menyulut kerenggangan hubungan antara umat
Islam dengan negara. Pada era orde baru hal ini pernah terjadi cukup lama. Dan
Inilah Arabisasi, sebuah gagasan bunuh diri jika sebagian masyarakat Indonesia
lengah. Kehilangan budaya, tradisi, dan jati diri sudah dikatakan sangat pasti.
Menumbuhkan kesadaran sejarah
di tengah-tengah masyarakat modern yang pragmatik bukanlah pekerjaan mudah.
Dengan kata lain, membangun karakter melalui pembelajaran sejarah membutuhkan kemauan
politik yang kuat dan didukung infrastruktur dan suprastruktur yang memadai.
Tanpa itu semua, pembangunan karakter dan pentingnya kesadaran sejarah hanyalah
slogan kosong yang tidak bermakna. Membangun karakter melalui pembelajaran
sejarah di sekolah, misalnya, sudah dilakukan berpuluh tahun lamanya. Dalam
setiap kurikulum di sekolah selalu mencantumkan mata pejaran (mapel) sejarah,
meskipun seringkali mengalami ”bongkar pasang” dalam pelaksanaannya. Dalam
desain kurikulum nasional, mapel sejarah tetap dianggap penting di samping
mapel yang lain. Namun, pelajaran sejarah dalam kenyataannya belum berhasil
menumbuhkan kesadaran sejarah seperti yang diharapkan. Bahkan, dalam
perkembangannya kini, mapel sejarah dianggap ”kurang penting” dan digeser oleh
mapel lainnya yang dianggap lebih penting. Tidak ada pemihakan terhadap
pelajaran sejarah yang memungkinkan pelajaran sejarah disenangi siswa. Dalam
suasana seperti itu tidak perlu lagi kita berharap banyak pada pembelajaran
sejarah yang mampu menumbuhkan kesadaran sejarah dan membentuk karakter siswa
seperti diharapkan.
Kebijakan pendidikan sejarah
disekolah selama ini menunjukkan adanya gejala semakin melupakan sejarah.
Misalnya, dikuranginya jam pelajaran sejarah, tidak menyertakan dalam ujian
nasional, hanya menekankan aspek-aspek kognitif seraya melupakan ranah afektif
dan psikomotorik, menjadi bukti kuat akan hal itu. Bila suatu bangsa secara
sistematis mulai melupakan sejarah, di saat itu pulalah sesungguhya bibit-bibit
disintegrasi nasional mulai dipertaruhkan. Kebanggaan dan jati diri bangsa
semakin memudar dan pada gilirannya akan melahirkan generasi yang teralinasi
dengan akar budayanya sendiri. Generasi yang seperti ini menjadi generasi yang
ahistoris, mengalami disorientasi nilai dan kebingungan kultural. Mereka
seperti ”anak kehilangan induknya”. Ketika berhadapan dengan pengaruh budaya
asing, mereka menjadi gamang karena tidak mampu menemukan ”rumah berteduh” yang
sesuai dengan keberadaannya. ”Rumah berteduh” yang disebut Indonesia itu tidak
mereka pahami karena mereka memang selama ini tidak pernah memiliki referensi
mengenai keindonesiaan secara utuh. Kesadaran sejarah hanya dapat ditumbuhkan
di tengah-tengah suasana yang kondusif mendukung pembelajaran sejarah yang
sistematis dan berkelanjutan. Bukan sekedar menghafal fakta-fakta sejarah,
meskipun ini sebuah keniscayaan, tetapi lebih dari itu, belajar sejarah sebisa
mungkin menemukan hubungan-hubungan kausalitas terjadinya peristiwa sejarah
yang memungkinkan kita memperoleh kearifan di dalamnya. Pengetahuan seperti ini
kemudian dijadikan bahan refleksi dan acuan untuk menghadapi masalah-masalah
kekinian dan merumuskan masa depan.
Dalam konteks seperti itu,
pembelajaran sejarah di sekolah membutuhkan rancangan pembelajaran yang tepat
sesuai dengan usia dan kemampuan peserta didik. Pelajaran sejarah di SD
seharusnya disampaikan dengan pendekatan estetis, untuk menanamkan rasa cinta
kepada perjuangan, pengorbanan, menemukan tokoh idola (hero), cinta
tanah air, bangsa, dll. Sementara itu, pembelajaran sejarah di SMP harus
disampaikan dengan pendekatan etis, ditanamkan nilai-nilai kebersamaan,
toleransi, hidup dalam keragaman, saling membantu dan menghargai. Setiap
peristiwa sejarah yang diajarkan harus memuat nilai-nilai etis itu. Jadi,
selain mencintai perjuangan, pahlawan, tanah air dan bangsa, siswa tamatan SMP
tidak canggung lagi dalam pergaulan masyarakat yang semakin majemuk
(multikulturalisme). Di SMA, pembelajaran sejarah harus diberikan secara
kritis: Mengapa sesuatu itu terjadi, bagaimanakah kejadian yang sesungguhnya,
dan ke mana arah kejadian itu. Di Universitas, sejarah diberikan secara
akademis. Di sana diajarkan sejarah perubahan masyarakat supaya mahasiswa (1)
mempunyai gambaran latar belakang masyarakat yang sedang dibicarakan, (2) mempunyai
gambaran tentang kesinambungan dan perubahan, (3) dapat mengantisipasi
perubahan yang akan terjadi agar supaya dengan ilmunya mereka dapat melihat
perkembangan.
Hal tersebut sesuai dengan
tujuan kurikulum pendidikan sejarah yang selalu diasosiasikan dengan tiga
pandangan yaitu: 1) “perenialisme” yang memandang bahwa pendidikan
sejarah haruslah mengembangkan tugas sebagai wahana “transmission of culture”.
Pengajaran sejarah hendaklah diajarkan sebagai pengetahuan yang dapat membawa
siswa kepada penghargaan yang tinggi terhadap “the glorius past”.
Kurikulum sejarah diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik dan
generasi penerus untuk mampu menghargai hasil karya agung bangsa di masa
lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah air, persatuan dan
kesatuan nasional; 2) esensialisme, menurut pandangan ini, kurikulum
sejarah haruslah mengembangkan pendidikan sejarah sebagai pendidikan disiplin
ilmu dan bukan hanya terbatas pada pendidikan pengetahuan sejarah. Dalam
pandangan aliran esensialisme, siswa yang belajar sejarah harus diasah
kemampuan intelektualnya sesuai dengan tradisi intelektual sejarah sebagai
disiplin ilmu. Kemampuan intelektual keilmuan antara lain menghendaki kemampuan
berfikir kritis dan analitis terutama dikaitkan dalam konteks berfikir yang
didasarkan filsafat keilmuan; (3) rekonstruksi sosial, pandangan ini menganggap
bahwa kurikulum pendidikan sejarah haruslah diarahkan pada kajian yang
menyangkut kehidupan masa kini dengan problema masa kini. Pengetahuan sejarah
diharapkan dapat membantu siswa memecahkan permasalahan kekinian.
Kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam sejarah masa lampau digunakan
sebagai pelajaran yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan siswa masa kini.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Ö Konsep
perubahan peradaban melalui pendidikan etika dan sopan santun dapat katakan
sebagai suatu strategi yang tepat, jika dilihat dari konteks persaingan global
saat ini yang mensyaratkan pada daya saing pendidikan, perekonomian daerah yang
mapan, dan penguasaan teknologi yang mumpuni, sehingga tanpa itu mustahil suatu
daerah akan maju.
Ö Struktur
pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan oposisi
atau kelompok penekan, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh
besar, Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena
pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan
kekuasaannya demi kemajuan peradaban Islam.
Ö Langkah-langkah
strategis yang diberikan oleh Cheryl diantaranya : Pertama-tama dukung kelompok cendekiawan modernis (liberal), Dukung kelompok tradisionalis dalam
menghadapi fundamentalis, Hadapi dan lawan fundamentalis, Dukunglah kelompok
sekularis dengan secara hati-hati.
Ö Jika
terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang
harus dilakukan, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran
tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.
Ö Menumbuhkan kesadaran sejarah di
tengah-tengah masyarakat modern yang pragmatik bukanlah pekerjaan mudah. Dengan
kata lain, membangun karakter melalui pembelajaran sejarah membutuhkan kemauan
politik yang kuat dan didukung infrastruktur dan suprastruktur yang memadai.
B.
Saran
Kemajuan sebuah
peradaban salah satunya bertumpu kepada sejarah. Dengan sejarahlah peradaban
memiliki jati dirinya yang hakiki. Alangkah lebih baiknya kita memperdalam
makna sejarah yang sesungguhnya, karena dengan kita mengenal sejarah kita akan
mengerti suatu peradaban yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Hamid.
1997 . “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Kongres Nasional Sejarah
1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi
Pendidikan
Sejarah . Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Rasjidi,Lili dan Ira
Thania Rasjidi. 2004 . Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Harun,Nasution. 1986 . Akal dan Wahyu Dalam Islam .
Ridha, Abu. 2004 . Negara
dan Cita-Cita Politik . Bandung: Syaamil
Sardar,
Ziauddin . 1993. Rekayasa Masa Depan
Peradaban Muslim . Bandung : Mizan
Shihab, M. Quraish . 2002 .Membumikan Al-quran .
[1] Prof.M.
Quraish Shihab.MA, Membumikan Al-quran,2002
[2] Prof.DR.
H.Lili Rasjidi,S.H.,S.Sos.,LL.M. dan Ira Thania Rasjidi.,SH.,LL.M. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,2004
[5]
Hamid Hasan, S.
“Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Kongres Nasional Sejarah 1996
Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan
Sejarah, ( Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997 ),
hlm. 138-139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar