Rabu, 27 Juni 2012

penyadaran atas rekontruksi sejarah dan peradaban islam masa depan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejarah merupakan suatu rujukan yang sangat penting saat kita akan membangun masa depan. Sekaitan dengan itu kita bisa tahu apa dan bagaimana perkembangan islam pada masa lampau. Namun, kadang kita sebagai umat islam malas untuk melihat sejarah. Sehingga kita cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa lalu. Disnilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang serta merencanakan matang-matang untuk masa depan yang lebih cemerlang tanpa tergoyahkan dengan kekuatan apa pun.
Sejarah dalam pandangan Islam tidak hanya berbicara masalah data dan fakta, akan tetapi sejarah merupakan dialektika nilai, pertarungan nilai. Karena sejarah membawa identitas sebuah entitas masyarakat akan masa lalunya. Kemajuan sebuah peradaban salah satunya bertumpu kepada sejarah. Dengan sejarahlah peradaban memiliki jati dirinya yang hakiki. Masyarakat yang melupakan sejarah akan mudah terjangkiti rasa inferior, mudah terombang-ambing dalam sebuah arus yang tidak jelas atau dengan kata lain krisis identitas. Padahal masa depan adalah fungsi dari masa lampau dan masa kini. Oleh karena itu di dalam makalah ini akan dibahas tentang argumentasi distorsi atas konsep sejarah Islam masa kini, rekontruksi dan paradigma peradaban islam masa depan, planning operasional dan strategis peradaban Islam, signifikansi kebangkitan fundamentalis Islam dan liberalisme Islam, dan identifikasi dan sikap positif atas signifikasi dan konstribusi lembaga pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ditorsi konsep sejarah dan peradaban Islam ?
2.      Bagaimana rekontruksi dan paradigma peradaban islam masa depan ?
3.      Bagaimana planning operasional dan strategis peradaban Islam ?
4.      Bagaimana signifikansi kebangkitan fundamentalis Islam dan liberalisme Islam ?
5.      Bagaimana signifikasi dan konstribusi lembaga pendidikan ?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui ditorsi konsep sejarah dan peradaban Islam.
2.      Untuk mengetahui rekontruksi dan paradigma peradaban islam masa depan.
3.      Untuk mengetahui planning operasional dan strategis peradaban Islam.
4.      Untuk mengetahui signifikansi kebangkitan fundamentalis Islam dan liberalisme Islam.
5.      Untuk mengetahui signifikasi dan konstribusi lembaga pendidikan.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ditorsi Konsep Sejarah dan Peradaban Islam
Al Imam Baqir Al Shadr dalam Al-Madrasah Qur’aniyyah yang disadur Prof M. Quraish Shihab Menulis “ Manusia adalah para pelaku yang menciptakan sejarah. Gerak sejarah adalah gerak menuju suatu tujuan. Tujuan tersebut berada dihadapan manusia, berada di masa depan. Sedangkan masa depan yang bertujuan harus tergambar dalam benak manusia. Dengan  demikian, benak manusia merupakan langkah pertama dari gerak sejarah atau dengan kata lain terjadinya perubahan”.[1]
Gagasan mengenai hukum perubahan Al Shadr diatas memberikan fondasi dasar bagi ummat muslim saat ini, tentang bagaimana seharusnya memulai sebuah gerakan pembangunan peradaban bangsa. Jika menyimak gagasan Al Shadr diatas, maka membangun peradaban haruslah dilandasi oleh suatu gambaran tentang masa depan (konsepsi) yang hendak kita bangun bersama, karena Konsepsi menurut Al-Shadr adalah sebagai langkah pertama terjadinya gerak sejarah atau terjadinya perubahan, dengan kata lain konsepsi ini berfungsi sebagai Stimulus bagi terjadinya gerak perubahan peradaban.
Namun yang disesalkan, kita sepertinya masih gagal dalam tataran perumusan konsepsi. Syariat Islam yang dalam hal ini menjadi dasar  konsep Perubahan peradaban, diwujudkan dengan semangat mengeluarkan aturan-aturan hukum untuk menghukumi sebanyak-banyaknya para pelanggar moral (dalam arti sempit), yakni bagaimana mengorganisir masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka tunduk dan patuh terhadap aturan tentang busana, etika pergaulan dengan lawan jenis dan lain sebagainya.
Dari hal tersebut, dipahami bahwa konsep awal perubahan peradaban yang diusung para pemimpin   saat ini  adalah dengan “menertibkan” terlebih dahulu para pelanggar moral (dalam arti sempit). Karena aturan-aturan moral ini menjadi prioritas pertama, berarti secara tidak langsung kita beranggapan bahwa para pelanggar moral ini sebagai faktor terdepan yang  menghambat kemajuan peradaban. Pemahaman yang demikian ini lahir dari kesimpulan yang parsial, terhadap konsepsi Syariat Islam sebagai stimulant perubahan peradaban yang hendak diterapkan. 
Dalam konteks hukum sendiri, pendapat ini seolah diterima sebagai suatu gagasan hukum yang begitu cemerlang, karena berasal dari sesuatu yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat, atau dalam  hukum dikenal dengan istilah “the living law”. Gagasan the living law ini jelas di pengaruhi oleh aliran filsafat hukum Sociological Jurisprudence yang belakangan ini cukup populer dikalangan terotikus Hukum di Indonesia. Bahkan dalam lampiran UU  No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan Republik Indonesia, secara gamblang mengamanatkan, agar dalam konsideran suatu undang-undang atau Peraturan Daerah mencantumkan latar belakang filosofis, yuridis dan sosiologis yang menjadi dasar dibentuknya peraturan tersebut. 
Ini semua menandakan ada hal yang keliru, menyangkut konsep dasar yang menjadi acuan lahirnya aturan-aturan tersebut. Keterputusan kesinambungan antara konsep dan realitas  inilah yang menjadi dasar pikiran awal penulis, untuk mengasumsikan bahwa telah terjadinya distorsi konsep perubahan peradaban saat ini. Distorsi-distorsi tersebut antara lain,
ì  Pertama, Distorsi terhadap ajaran hukum Sociological Jurisprudence. Ajaran hukum Sociological Jurisprudence ini sendiri adalah suatu aliran filsafat hukum yang berpandangan tentang pentingnya Living Law yang hidup dalam masyarakat, dan kelahirannya merupakan sinthese dari thesenya Positivisme hukum (yang mengutamakan akal dalam proses perumusan hukum), dan sekaligus sebagai antithesenya dari Mazhab sejarah yang mengutamakan pengalaman atau nilai yang semata-mata tumbuh dalam masyarakat. Sehingga dengan kata lain, Sociological Jurisprudence merupakan penggabungan antara rasio dan nilai yang tumbuh dalam masyarakat (pengalaman) dalam proses perumusan hukum.[2]
Ajaran hukum yang merupakan penggabungan antara rasio dan nilai nilai yang tumbuh dalam masyarakat, memang merupakan suatu gagasan yang dinilai cukup ideal, mengingat hukum juga harus memperhatikan realitas perkembangan yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi jika dilihat  lebih jauh tentang konsep penegakan hukum kita saat ini sepertinya memang terlihat telah terjadi distorsi dalam penerapan konsep sociological Jurisprudence, sebab dalam pandangan saya memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat bukan berarti pemerintah harus mengadopsi dengan segera seluruh kehendak masyarakat agar diterbitkannya suatu aturan hukum seperti yang diinginkan masyarakat dalam suatu wilayah hukum tertentu, sebab ajaran sociological jurisprudence tidaklah bertolak dari apa yang diinginkan oleh masyarakat semata, melainkan pemerintah harus terlebih dahulu melakukan penilaian rasional dan pertimbangan lebih lanjut tentang baik buruknya masa depan norma tersebut bagi perkembangan peradaban masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, ada satu contoh menarik yang diberikan oleh L.G. Saraswati Dkk, yang menyebutkan, jika dalam suatu wilayah tertentu dimana kondisi sosiologis masyarakatnya memiliki tingkat sensitivitas gender yang sangat  rendah, seperti misalnya perempuan sangat dibatasi untuk dapat terlibat dalam berbagai urusan wilayah publik, maka apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu tata nilai yang baik karena berasal dari tradisi sekelompok masyarakat? Karenanya menurut penulis, hukum sebagai instrument perubahan masyarakat, dalam kondisi tertentu juga harus menemukan nilainya sendiri yang dianggap baik bagi perkembangan peradaban masyarakat, sekalipun nilai tersebut tidak dikenal dalam  komunitas masyarakat tersebut.
Terkait dengan kondisi sosial saat ini, maka mendahulukan konsep penegakan moral (dalam arti sempit) bukanlah pilihan yang tepat jika dilihat dari strategi perubahan peradaban. Sebab, penegakan moral dalam arti sempit ini tidak secara langsung berimplikasi pada meningkatnya  kualitas peradaban suatu bangsa. Supremasi moral kita saat ini jikapun diandaikan berhasil, dalam arti apabila semua orang tunduk dan patuh untuk (misalnya) mengenakan model dan tata cara berpakaian tertentu, ini berarti konsep pembangunan peradaban kita baru pada taraf  pendidikan etika dan sopan santun!. 
Masalahnya, apakah konsep perubahan peradaban melalui pendidikan etika dan sopan santun dapat katakan sebagai suatu strategi yang tepat, jika dilihat dari konteks persaingan global saat ini yang mensyaratkan pada daya saing pendidikan, perekonomian daerah yang mapan, dan penguasaan teknologi yang mumpuni, sehingga tanpa itu mustahil suatu daerah akan maju. Gambaran ini secara terang menunjukkan bahwa membangun suatu peradaban bangsa, sama sekali tidak cukup jika hanya bermodalkan pendidikan etika dan sopan santun semata, melainkan banyak aspek aspek lain yang secara nyata dapat menjadi jawaban dari persaingan global kita saat ini.
Memang sangat dibutuhkan kehati hatian kita dalam memahami hal ini, sebab jangan sampai  ide ini dianggap sebagai awal dari upaya penghancuran moral oleh konsep peradaban modern. Hal ini tentu saja tidak benar, karena  pandangan diatas tidak berakhir pada kesimpulan negasi moral dalam kehidupan peradaban modern, namun justru berkonotasi bahwa dalam kondisi saat ini, kebijakan yang berorientasi pada kemajuan pendidikan, daya saing bidang perekonomian  (bukan ekonomi liberal)  dan teknologi modern harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dibanding kebijakan lainnya.
ì  Kedua, keyakinan masyarakat kita  bahwa syariat Islam adalah sebagai instrument yang ampuh untuk mewujudkan konsep perubahan peradaban, juga telah terjadi distorsi. Semangat untuk mewujudkan kembali kejayaan islam dimasa lampau selalu dipandang dari sektor hukum dan bentuk Negara (sistem politik) yang berkembang ketika itu. Padahal, ada aspek lain yang lebih esensial dari itu semua, yakni kemajuan peradaban islam dibidang ilmu pengetahuan. Tanpa kemajuan ilmu pengetahuan, saya tidak yakin peradaban islam akan berkembang dan bahkan jauh lebih maju dibanding bangsa  eropa yang justru pada masa itu sedang berada dalam masa kegelapan (dark age).
Kata peradaban seringkali diartikan melalui analisis kata dasarnya “adab” yang identik dengan keadaan seseorang yang memiliki seni berprilaku menurut cara-cara tertentu, sehingga dengan berprilaku demikian seseorang disebut memiliki sifat adab tersebut (sopan santun dan berbudi luhur), jadi tidak mengherankan jika konsep peradaban kita selalu merujuk pada soal bagaimana cara berprilaku yang baik dan benar. 
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang mendorong tumbuhnya situasi yang kondusif bagi pendidikan justru terpinggirkan, jikapun ada hanya sebatas regulasi-regulasi teknis kependidikan, bukan terobosan-terobosan baru yang bersifat konseptual-strategik.
Kemajuan bidang ilmu pengetahuan islam dimasa lalu sangat ditentukan oleh komitmen pemimpinnya untuk mendorong  gairah pendidikan pada masa itu. Cendikiawan muslim Indonesia Harun Nasution misalnya mencontohkan, seperti pada masa khalifah Al-makmun yang berjasa mendirikan Bait Al-Hikmah sebagai pusat kajian filsafat yunani dan selanjutnya memberikan pengaruh cukup besar bagi perkembangan filsafat islam.[3] Tentu sulit bagi kita untuk membayangkan seandainya ada ulama ketika itu yang menentang dan berhasil menghambat pembangunan Bait Al Hikmah, serta menuduh Khalifah Al-Makmun telah melakukan Taghrib karena khawatir akan “tercemarnya” para intelektual islam dengan pemikiran filsafat barat (yunani), barangkali dunia hari ini tidak pernah mengenal dengan sebutan “Filsafat Islam”, ilmu Mantiq (logika), dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang lahir dari pemikir-pemikir besar Islam ketika itu.
Pada dasarnya kita Ummat muslim memilki cerita sejarah yang cukup menggembirakan tentang perkembangan peradaban, tinggal bagaimana saat ini menyusun kekuatan untuk mewujudkan kejayaan itu kembali,
Menyadari hal itu semua, pada akhirnya dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesuai dengan penjelasan kita tentang pentingnya Konsepsi Bagi Kemajuan Peradaban Bangsa, maka  hukum seharusnya mengadopsi konsep yang terbaik  bagi kemajuan peradaban masyarakat, bukan justru harus selalu terpaku pada apa yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat, dan berlindung dibalik sakralitas ajaran hukum sociological jurisprudence. Berdasarkan deskripsi kritis kita tentang konsep perubahan peradaban saat ini, maka dalam sistem perencanaan hukum kedepan, yang harus diutamakan adalah perlunya regulasi-regulasi hukum yang dapat menjadi stimulus peradaban dalam arti yang luas, yakni bagaimana aturan hukum dapat mewujudkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, karena yang demikian merupakan syarat mutlak yang diperlukan oleh bangsa kita saat ini jika  hendak mengukir kembali kejayaan islam di bumi tanah rencong ini.
B.     Rekontruksi dan Paradigma Peradaban Islam Masa Depan
ì  Konstruksi Oposisi dan Kelompok Penekan
Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau oposisi dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh kelompok berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik ekstrakekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik yang secara laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada kelompok Status-Quo.
Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pascapembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus. Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan bagi terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut.
Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena.
Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur Khalifah yang memimpin Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok penekan menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat dan dibantu kekuatan militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dapat memperlemah kekuatan oposisi.
Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh besar.Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di atas dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka memiliki legitimasi politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin Zubeir mendapat legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas As-Saffah mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah. Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.
ì  Konstruksi Politik Luar Negeri
Dari awal era Khulafaur-Rasyidin, konstruksi politik luar negeri didasarkan atas upaya untuk dakwah dan menyebarkan Islam secara ekspansif dengan kekuatan yang dimiliki. Begitu pula dengan orientasi dan dasar politik luar negeri Bani Umayyah. Spirit dakwah dan penyebaran Islam melalui jalur kekuasaan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan dalam politik luar negeri Bani Umayyah.Secara geopolitik, posisi Arab pada era Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Was Salam terletak di antara dua buah kekaisaran yang saling memperebutkan pengaruh: Persia dan Romawi. Pergumulan kedua kekaisaran ini diabadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum. Dengan posisi ini, Arab sebenarnya sangat rawan terhadap penetrasi atau aneksasi dari kedua kekaisaran yang begitu kuat.Namun, kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang kuat berhasil menaklukkan Persia. Khalifah Umar juga mengirim pasukan ke Mesir dan Palestina serta mendesak kedudukan Romawi di dua tempat tersebut. Bargaining position umat Islam mulai muncul dan berlangsung sampai era awal Bani Umayyah.Khalifah Muawiyah melanjutkan penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut, hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain. Terjadi universalisasi peradaban Islam yang sejalan dengan konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin[4]. Bertambah luasnya territorial umat Islam ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.
C.    Planning Operasional dan Strategis Peradaban Islam
Karena tujuannya untuk mem-Barat-kan umat Islam, maka ia hanya memilih elemen-elemen dan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan Barat saja untuk dikembangkan. Ini tentu untuk memuluskan jalannya modernisasi, westernisasi dan Amerikanisasi. Bahkan lebih praktis lagi Bernard menyarankan agar Barat memberikan “bantuan” bagi pengembangan nilai-nilai Barat tersebut kedalam pemikiran ummat Islam. Bantuan itu kini telah mengucur ke berbagai LSM-LSM di Indonesia.
Tidak hanya menyeret nilai-nilai Islam kedalam nilai-nilai Barat, Cheryl Bernard juga membuat kategori kelompok-kelompok umat Islam dengan bahasa kultural Barat. Kelompok Islam dalam laporan itu dibagi menjadi Muslimsekularis, Tradisionalis, fundamentalis dan modernis (dalam kelompok terakhir ini termasuk Muslim liberal). Muslim modernis misalnya, dinisbahkan kepada Muslim yang bekerja untuk Barat dan yang mendukung masyarakat demokratis modern. Sementara itu Muslim fundamentalis radikal (the radical fundamentalists) adalah mereka yang anti demokrasi Barat, nilai-nilai Barat secara umum, dan Amerika Serikat khususnya; pokoknya tujuan dan visi kelompok ini tidak sesuai dengan Barat. Jadi standar klasifikasi ini adalah Barat, dan bukan berdasarkan realitas umat Islam. Memang, inilah strategi pemikiran.
Dari pemikiran dan gambaran tentang umat Islam yang salah itu Cheryl mengusulkan saran-saran strategi pemikiran. Saran-saran strategis itu dibagi menjadi dua A. Dasar-dasar strategis dan B. akifitas khusus untuk mendukung strategis tersebut.
ì  Saran-saran strategis yang diberikan Cheryl adalah :
  • Ciptakan tokoh atau pemimpin panutan yang membawa nilai-nilai modernitas
  • Dukung terciptanya masyarakat sipil (civil society) didunia Islam.
  • Kembangkan gagasan Islam warna-warni, seperti Islam Jerman, Islam Amerika, Islam Inggeris dst.
  • Serang terus menerus kalompok fundamentalis dengan cara pembusukan person-personnya melalui media masa.
  • Promosikan nilai-nilai demokrasi Barat modern
  • Tantang kelompok tradisionalis dan fundamentalis dalam soal kemakmuran, keadilan sosial, kesehatan, ketertiban masyarakat dsb.
  • Fokuskan ini semua kepada dunia pendidikan dan generasi muda Muslim.
Untuk memperkuat dan mempercepat pembangunan masyarakat sipil Islam yang demokratis dan modern Cheryl Bernard mengusulkan strategi sebagai berikut:
1)      Dukunglah kelompok modernis, perluas visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Kemudian angkat mereka secara publik sehingga menjadi figure Muslim kontemporer.
2)      Dukunglah kelompok sekularis kasus per kasus.
3)       Kembangkan lembaga-lembaga dan program-program sekuler dibidang sosial dan cultural
4)      Dukung kelompok tradisionalis secukupnya sekedar dapat berlawanan dengan fundamentalis dan dapat menghindari persatuan kedua kelompok ini.
5)      Musuhi kelompok fundamentalis secara energik dengan menyerang kelemahan mereka dalam pemahaman dan ideologi keislaman mereka, seperti membuktikan korupsi, kebrutalan, kebodohan, bias mereka dan kesalahan mereka dalam mengamalkan Islam serta ketidak mampuan mereka dalam memimpin dan memerintah.
Untuk mendukung mendukung langkah-langkah strategis tersebut Cheryl juga memberikan saran-saran taktis sebagai berikut:
  1. Pertama-tama dukung kelompok cendekiawan modernis (liberal). Dorong mereka menulis untuk publik dan anak muda. Terbitkan dan sebarkan kerja-kerja mereka dengan bantuan biaya. Masukkan ide-ide mereka ini kedalam kurikulum pendidikan Islam. Usahakan agar pandangan mereka tentang masalah-masalah mendasar dalam penafsiran agama dapat dibaca oleh masyarakat dan agar berkompetisi dengan kelompok fundamentalis dan tradisionalis.
  2. Dukung kelompok tradisionalis dalam menghadapi fundamentalis. Publikasikan kritik-kritik kelompok tradisionalis terhadap tindak kekerasan dan ektrimisme kelompok fundamentalis. Pupuk terus perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis, dan jangan sampai mereka bersatu. Upayakan agar pemikiran tradisionalis mendekati modernis. Kalau perlu didiklah kelompok tradisionalis agar dapat melawan fundamentalis. Fundamentalis biasanya lebih superior dalam retorika, tapi tradisionalis masih agak tertinggal. Tingkatkan jumlah kelompok modernis (liberal) dalam institusi tradisionalis.
  3. Hadapi dan lawan fundamentalis. Tantanglah penafsiran mereka tentang Islam dan tunjukkan ketidakakuratannya. Bongkar jaringan mereka dengan kelompok-kelompok illegal. Publikasikan segala konsekuensi dari tindak kekerasan mereka. Tunjukkan juga ketidak mampuan mereka untuk memimpin, untuk mencapai perkembangan positif bagi Negara dan masyarakatnya. Kemudian sebarkan hal ini kepada generasi muda, kepada masyarakat tradisionalis yang taat, minoritas Muslim di Barat dan kepada para wanita. Hindarkan rasa respek atau pemujaan terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok fundamentalis, ekstrimis dan teroris. Juluki mereka sebagai pahlawan jahat, penakut dan tidak waras. Doronglah para wartawan untuk menginvestigasi korupsi, kemunafikan dan tindak amoral dalam kelompok fundamentalis dan teroris. Pecah belahlah kelompok fundamentalis.
  4. Dukunglah kelompok sekularis dengan secara hati-hati. Dorong kelompok ini agar mengakui fundamentalisme sebagai musuh bersama. Hindarkan agar kelompok sekularis ini tidak beraliansi dengan kekuatan anti AS yang didorong oleh nasionalisme atau ideologi kiri. Dukunglah ide bahwa dalam Islam agama dan Negara dapat dipisahkan dan ini tidak membahayakan keimanan tapi malah memperkuat keimanan. Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan bagi ummat Islam. Upayakan agar dikalangan ummat Islam tumbuh kesadaran dan ketertarikan kepada sejarah dan kultur pra-Islam dan non-Islam. Bantulah kelompok ini dalam mengembangkan organisasi sipil yang independent agar mereka dapat mengembangkan diri melalui proses politik. (hal.48)
Lebih lanjut Cheryl Bernard memberi masukan tentang langkah praktis yang perlu dilakukan untuk mendukung strategi dan taktik diatas. Kegiatan-kegiatan yang ia usulkan adalah sebagai berikut:
  1. Rebut atau rusaklah “monopoli” kelompok fundamentalis dan tradisionalis dalam menjelaskan dan menafsirkan Islam.
  2. Cari kelompok modernis / liberal yang dapat membuat website yang menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan kemudian menawarkan pendapat Muslim modernis tentang hukum-hukumnya.
  3. Doronglah cendekiawan Modernis / liberal untuk menulis buku teks dan mengembangkan kurikulum dan berilah bantuan finansial.
  4. Gunakan media regional yang populer, seperti radio, untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran Muslim modernis / liberal agar membuat dunia internasional melek tentang apa arti Islam dan dapat berarti apa Islam itu.
D.    Signifikansi Kebangkitan Fundamentalis Islam dan Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Secara inheren, gerakan kebangkitan itu sendiri sebetulnya adalah gerakan liberal, khususnya jika liberalisme diartikan sebagai gerakan pembebasan pemikiran. Tokoh nahdhah “konservatif” semacam Muhammad ibn Abd al-Wahab pun, sesungguhnya turut memberikan kontribusi bagi gerakan liberalisme Islam di kawasan Arab. Khususnya ketika dia mengkampanyekan pembebasan diri dari unsur-unsur takhyul, mitologis, dan khurafat, serta menawarkan Islam yang bersih dan “rasional.”
Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaru Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim pada –meminjam istilah Albert Hourani— masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respon dari masyarakat Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaru Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan—dalam beberapa hal—nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.
Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal itu juga yang kerap membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat dan penguasa (yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokoh-tokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
E.     Signifikasi dan Konstribusi Lembaga Pendidikan
Sampai detik ini masih sangat dipercaya bahwa gerakan Islam di Indonesia dipelopori oleh jajaran ulama legendaris, yakni Wali Songo. Dengan propaganda dan dakwah yang sangat baik mereka berhasil menyebarkan Islam ke antero Nusantara. Meski pada nyatanya, mereka bukanlah satu kelompok utuh yang terkomando, paling tidak, gerakan mereka dalam setiap periodenya memiliki satu corak yang sama, yaitu menekankan hibridisasi antara nilai-nilai keislaman dengan budaya dan kearifan lokal.Sebagai contoh, salah satu tokoh Wali Songo –Sunan Kalijaga- memanfaatkan wayang kulit untuk upaya publikasi dan edukasi nilai-nilai keislaman, ada juga yang memakai alat musik untuk merayu orang masuk ke masjid, bahkan ada yang berpartisipasi dalam sabung ayam demi mendapat nilai-nilai ketokohan dalam masyarakat, sehingga lebih mudah untuk memengaruhi orang lain. Pola-pola seperti ini sebetulnya bukanlah hal yang aneh jika melihat fakta begitu beragamnya corak keislaman di berbagai penjuru dunia. Mungkin karena factor kemajemukan sub-kultur Nusantaralah yang membuat proses ini terlihat begitu mencolok. Sebetulnya sejak zaman Nabi pun proses seperti sudah terjadi dengan sendirinya. Sikap kerendahhatian Nabi sangat penting untuk diterapkan. Beliau tidak mengatakan bahwa ajarannya adalah bangunan baru yang lebih indah atau lebih baik, Nabi seolah hendak menampik anggapan bahwa Islam adalah agama totaliter yang hendak memberangus semua agama dan budaya yang mendahuluinya. Hadis ini seperti semacam garansi tanpa kadaluarsa bagi eksistensi budaya-budaya yang eksis sebelum kehadiran Islam, termasuk yang ada di Nusantara.Namun, sangat disayangkan jika konsep Islam yang ditawarkan oleh Wali Songo bahkan Nabi Muhammad sendiri sebagai tonggak Islam tersebut seolah-olah dilabrak dengan gagasan purifikasi atau dalih pemurnian agama yang jelas saja mengancam eksistensi warisan tradisi dan budaya lokal. Penyeragaman secara total mulai kembali dibangun melalui berislam dengan gaya Arabisasi, mulai dari berbusana, berbahasa, bahkan secara struktural besar seperti negara dan undang-undang –Khilafah Islamiyah- yang didengungkan oleh beberapa kelompok Islam revivalis.
Secara umum upaya purifikasi kehidupan keagamaan sangat kental dengan pengidentikkan simbol-simbol keislaman sebagaimana berlaku di tanah Arab. Hal ini bukan saja hendak menafikkan unsur-unsur lokalitas dalam nilai keagamaan, tapi juga meloloskan nilai historis dan kontekstualisasi Islam. Dengan pola semacam ini, tak heran banyak orang menganggap bahwa kelompok-kelompok revivalis memiliki agenda tersembunyi untuk mengubah wajah negara dan masyarakat setempat secara radikal, sesuai dengan corak keislaman yang mereka anut. Hal ini justru sering diafirmasi dengan kampanye syariat Islam, sistem kekhalifahan, serta hal-hal semacamnya, yang sering mereka dengungkan. Pandangan semacam ini seringkali menyulut kerenggangan hubungan antara umat Islam dengan negara. Pada era orde baru hal ini pernah terjadi cukup lama. Dan Inilah Arabisasi, sebuah gagasan bunuh diri jika sebagian masyarakat Indonesia lengah. Kehilangan budaya, tradisi, dan jati diri sudah dikatakan sangat pasti.
Menumbuhkan kesadaran sejarah di tengah-tengah masyarakat modern yang pragmatik bukanlah pekerjaan mudah. Dengan kata lain, membangun karakter melalui pembelajaran sejarah membutuhkan kemauan politik yang kuat dan didukung infrastruktur dan suprastruktur yang memadai. Tanpa itu semua, pembangunan karakter dan pentingnya kesadaran sejarah hanyalah slogan kosong yang tidak bermakna. Membangun karakter melalui pembelajaran sejarah di sekolah, misalnya, sudah dilakukan berpuluh tahun lamanya. Dalam setiap kurikulum di sekolah selalu mencantumkan mata pejaran (mapel) sejarah, meskipun seringkali mengalami ”bongkar pasang” dalam pelaksanaannya. Dalam desain kurikulum nasional, mapel sejarah tetap dianggap penting di samping mapel yang lain. Namun, pelajaran sejarah dalam kenyataannya belum berhasil menumbuhkan kesadaran sejarah seperti yang diharapkan. Bahkan, dalam perkembangannya kini, mapel sejarah dianggap ”kurang penting” dan digeser oleh mapel lainnya yang dianggap lebih penting. Tidak ada pemihakan terhadap pelajaran sejarah yang memungkinkan pelajaran sejarah disenangi siswa. Dalam suasana seperti itu tidak perlu lagi kita berharap banyak pada pembelajaran sejarah yang mampu menumbuhkan kesadaran sejarah dan membentuk karakter siswa seperti diharapkan.
Kebijakan pendidikan sejarah disekolah selama ini menunjukkan adanya gejala semakin melupakan sejarah. Misalnya, dikuranginya jam pelajaran sejarah, tidak menyertakan dalam ujian nasional, hanya menekankan aspek-aspek kognitif seraya melupakan ranah afektif dan psikomotorik, menjadi bukti kuat akan hal itu. Bila suatu bangsa secara sistematis mulai melupakan sejarah, di saat itu pulalah sesungguhya bibit-bibit disintegrasi nasional mulai dipertaruhkan. Kebanggaan dan jati diri bangsa semakin memudar dan pada gilirannya akan melahirkan generasi yang teralinasi dengan akar budayanya sendiri. Generasi yang seperti ini menjadi generasi yang ahistoris, mengalami disorientasi nilai dan kebingungan kultural. Mereka seperti ”anak kehilangan induknya”. Ketika berhadapan dengan pengaruh budaya asing, mereka menjadi gamang karena tidak mampu menemukan ”rumah berteduh” yang sesuai dengan keberadaannya. ”Rumah berteduh” yang disebut Indonesia itu tidak mereka pahami karena mereka memang selama ini tidak pernah memiliki referensi mengenai keindonesiaan secara utuh. Kesadaran sejarah hanya dapat ditumbuhkan di tengah-tengah suasana yang kondusif mendukung pembelajaran sejarah yang sistematis dan berkelanjutan. Bukan sekedar menghafal fakta-fakta sejarah, meskipun ini sebuah keniscayaan, tetapi lebih dari itu, belajar sejarah sebisa mungkin menemukan hubungan-hubungan kausalitas terjadinya peristiwa sejarah yang memungkinkan kita memperoleh kearifan di dalamnya. Pengetahuan seperti ini kemudian dijadikan bahan refleksi dan acuan untuk menghadapi masalah-masalah kekinian dan merumuskan masa depan.
Dalam konteks seperti itu, pembelajaran sejarah di sekolah membutuhkan rancangan pembelajaran yang tepat sesuai dengan usia dan kemampuan peserta didik. Pelajaran sejarah di SD seharusnya disampaikan dengan pendekatan estetis, untuk menanamkan rasa cinta kepada perjuangan, pengorbanan, menemukan tokoh idola (hero), cinta tanah air, bangsa, dll. Sementara itu, pembelajaran sejarah di SMP harus disampaikan dengan pendekatan etis, ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, hidup dalam keragaman, saling membantu dan menghargai. Setiap peristiwa sejarah yang diajarkan harus memuat nilai-nilai etis itu. Jadi, selain mencintai perjuangan, pahlawan, tanah air dan bangsa, siswa tamatan SMP tidak canggung lagi dalam pergaulan masyarakat yang semakin majemuk (multikulturalisme). Di SMA, pembelajaran sejarah harus diberikan secara kritis: Mengapa sesuatu itu terjadi, bagaimanakah kejadian yang sesungguhnya, dan ke mana arah kejadian itu. Di Universitas, sejarah diberikan secara akademis. Di sana diajarkan sejarah perubahan masyarakat supaya mahasiswa (1) mempunyai gambaran latar belakang masyarakat yang sedang dibicarakan, (2) mempunyai gambaran tentang kesinambungan dan perubahan, (3) dapat mengantisipasi perubahan yang akan terjadi agar supaya dengan ilmunya mereka dapat melihat perkembangan.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan sejarah yang selalu diasosiasikan dengan tiga pandangan yaitu: 1) “perenialisme” yang memandang bahwa pendidikan sejarah haruslah mengembangkan tugas sebagai wahana “transmission of culture”. Pengajaran sejarah hendaklah diajarkan sebagai pengetahuan yang dapat membawa siswa kepada penghargaan yang tinggi terhadap “the glorius past”. Kurikulum sejarah diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik dan generasi penerus untuk mampu menghargai hasil karya agung bangsa di masa lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah air, persatuan dan kesatuan nasional; 2) esensialisme, menurut pandangan ini, kurikulum sejarah haruslah mengembangkan pendidikan sejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu dan bukan hanya terbatas pada pendidikan pengetahuan sejarah. Dalam pandangan aliran esensialisme, siswa yang belajar sejarah harus diasah kemampuan intelektualnya sesuai dengan tradisi intelektual sejarah sebagai disiplin ilmu. Kemampuan intelektual keilmuan antara lain menghendaki kemampuan berfikir kritis dan analitis terutama dikaitkan dalam konteks berfikir yang didasarkan filsafat keilmuan; (3) rekonstruksi sosial, pandangan ini menganggap bahwa kurikulum pendidikan sejarah haruslah diarahkan pada kajian yang menyangkut kehidupan masa kini dengan problema masa kini. Pengetahuan sejarah diharapkan dapat membantu siswa memecahkan permasalahan kekinian. Kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam sejarah masa lampau digunakan sebagai pelajaran yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan siswa masa kini.[5]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Ö Konsep perubahan peradaban melalui pendidikan etika dan sopan santun dapat katakan sebagai suatu strategi yang tepat, jika dilihat dari konteks persaingan global saat ini yang mensyaratkan pada daya saing pendidikan, perekonomian daerah yang mapan, dan penguasaan teknologi yang mumpuni, sehingga tanpa itu mustahil suatu daerah akan maju.
Ö Struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh besar, Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya demi kemajuan peradaban Islam.
Ö Langkah-langkah strategis yang diberikan oleh Cheryl diantaranya : Pertama-tama dukung kelompok cendekiawan modernis (liberal), Dukung kelompok tradisionalis dalam menghadapi fundamentalis, Hadapi dan lawan fundamentalis, Dukunglah kelompok sekularis dengan secara hati-hati.
Ö Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.
Ö Menumbuhkan kesadaran sejarah di tengah-tengah masyarakat modern yang pragmatik bukanlah pekerjaan mudah. Dengan kata lain, membangun karakter melalui pembelajaran sejarah membutuhkan kemauan politik yang kuat dan didukung infrastruktur dan suprastruktur yang memadai.
B.     Saran
Kemajuan sebuah peradaban salah satunya bertumpu kepada sejarah. Dengan sejarahlah peradaban memiliki jati dirinya yang hakiki. Alangkah lebih baiknya kita memperdalam makna sejarah yang sesungguhnya, karena dengan kita mengenal sejarah kita akan mengerti suatu peradaban yang ada.





























DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Hamid. 1997 . “Kurikulum dan Buku Teks Sejarahdalam Kongres Nasional Sejarah
     1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan  
     Sejarah . Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat       Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Rasjidi,Lili  dan Ira Thania Rasjidi. 2004 .  Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Harun,Nasution. 1986 . Akal dan Wahyu Dalam Islam .
Ridha, Abu. 2004 . Negara dan Cita-Cita Politik . Bandung: Syaamil
Sardar, Ziauddin . 1993. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim . Bandung : Mizan
Shihab, M. Quraish . 2002 .Membumikan Al-quran .





[1] Prof.M. Quraish Shihab.MA, Membumikan Al-quran,2002
[2] Prof.DR. H.Lili Rasjidi,S.H.,S.Sos.,LL.M. dan Ira Thania Rasjidi.,SH.,LL.M. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,2004
[3] Prof. Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam,1986
[4] Ridha, Abu. Negara dan Cita-Cita Politik (Bandung: Syaamil, 2004), hlm. 85

[5] Hamid Hasan, S. “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah, ( Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997 ), hlm. 138-139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar